Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) adalah suatu sistem yang dirancang untuk mencerminkan esensi demokrasi dalam lingkup perguruan tinggi. Sebagai sebuah miniatur pemilu nasional, Pemira bukan hanya sekadar ajang formalitas pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), namun juga berfungsi sebagai sarana strategis untuk menanamkan dan membumikan nilai-nilai demokrasi di kalangan mahasiswa. Proses Pemira memberikan kesempatan bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang organisasi untuk berkompetisi secara sehat, serta menjadi wadah untuk membentuk wacana kritis dan memperkuat kultur partisipatif di dalam komunitas akademik. Pemira yang ideal tidak hanya mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang baik, seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL), namun juga bertujuan untuk menciptakan mekanisme regenerasi kepemimpinan yang berintegritas dan berbasis pada aspirasi mahasiswa. Melalui proses ini, diharapkan lahirnya pemimpin mahasiswa yang memiliki karakter tangguh, berkualitas, dan mampu merespons kebutuhan serta tantangan yang dihadapi oleh civitas akademika. Lebih jauh lagi, implementasi Pemira di perguruan tinggi menjadi indikator penting dalam menilai sejauh mana universitas dapat membina kultur demokratis di lingkup internalnya. Mengingat pentingnya peran kampus sebagai lembaga pendidikan, Pemira harus mampu menciptakan atmosfer yang dapat memfasilitasi diskusi terbuka, serta meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam pembuatan keputusan-keputusan penting. Di era keterbukaan informasi dan partisipasi publik yang semakin meningkat, universitas diharapkan dapat berfungsi sebagai laboratorium demokrasi yang sehat dan progresif, yang tidak hanya mengajarkan teori-teori demokrasi, tetapi juga mengaplikasikannya dalam praktik yang nyata. Oleh karena itu, kualitas Pemira harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak yang terlibat, mulai dari pihak penyelenggara hingga mahasiswa itu sendiri, guna memastikan bahwa Pemira dapat mencerminkan semangat demokrasi yang sesungguhnya.
Namun, realitas yang ada di Universitas Mataram (Unram), salah satu kampus negeri terbesar di Nusa Tenggara Barat, menunjukkan adanya gap yang signifikan antara idealisme dan praktik Pemira yang sesungguhnya. Meskipun Unram mencatatkan prestasi akademik yang gemilang, seperti menempati peringkat ke-23 dalam QS WUR Sustainability 2025 dan ke-22 dalam THE Impact Rankings 2024, kenyataannya di tingkat kemahasiswaan terdapat sejumlah permasalahan yang menggambarkan kegagalan dalam implementasi nilai-nilai demokrasi. Salah satu fenomena yang mencolok adalah pemilihan Ketua BEM yang sering berakhir dengan aklamasi, tanpa adanya proses kontestasi atau pilihan alternatif dari kalangan mahasiswa. Aklamasi ini meskipun sah secara administrasi, namun sesungguhnya mencerminkan lemahnya partisipasi mahasiswa, reduksi ruang untuk berdiskusi dan berdebat, serta minimnya dinamika politik dalam lingkungan kampus. Praktik seperti ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak diberikan ruang untuk menyuarakan pandangan atau memilih calon pemimpin yang dianggap paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam konteks ini, aklamasi bukanlah hasil dari konsensus yang sehat, melainkan manifestasi dari proses yang tidak inklusif dan transparan. Ketika dinamika politik kampus tidak berjalan dengan semestinya, maka yang terjadi adalah stagnasi dalam perkembangan demokrasi dan kepemimpinan di tingkat mahasiswa. Sebagai hasilnya, kampus yang seharusnya menjadi ruang yang subur untuk ide-ide kritis dan progresif malah menjadi tempat yang kaku, di mana kesempatan bagi lahirnya pemimpin muda yang inovatif dan berani mengkritik sistem yang ada menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu, kondisi ini sangat merugikan bagi pengembangan karakter mahasiswa dan demokrasi kampus secara keseluruhan.
Lebih lanjut, praktik demokrasi yang tercermin dalam Pemira di Universitas Mataram mengalami kemunduran yang cukup serius. Kasus yang paling menonjol dalam hal ini adalah pemilihan Ketua BEM Unram tahun 2025 yang penuh dengan pelanggaran terhadap petunjuk teknis dan asas keadilan yang seharusnya dipegang teguh oleh penyelenggara Pemira. Dalam pelaksanaannya, Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM) telah melanggar sejumlah aturan internal, salah satunya dengan memanipulasi waktu pendaftaran dan verifikasi berkas calon Ketua BEM. Misalnya, meskipun hanya satu pasangan calon yang mendaftar, KPRM memutuskan untuk memperpanjang pendaftaran dan menerima pendaftar di luar jadwal yang telah ditentukan tanpa memberikan pemberitahuan yang layak kepada publik. Selain itu, proses verifikasi berkas dilakukan secara terburu-buru, di luar jam yang ditetapkan dalam pedoman teknis, dengan memberikan waktu yang sangat terbatas bagi calon untuk melengkapi berkas mereka. Praktik semacam ini menimbulkan kesan adanya upaya manipulasi sistematis yang bertujuan untuk menggugurkan salah satu calon demi memenangkan pihak tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa Pemira Unram tidak hanya mengalami masalah prosedural, tetapi juga krisis substansial dalam implementasi demokrasi yang sesungguhnya. Aklamasi yang terjadi dalam konteks ini bukanlah hasil dari proses musyawarah yang sehat, melainkan hasil dari manipulasi yang mengabaikan prinsip inklusivitas dan transparansi. Lebih lanjut, pihak rektorat pun turut terlibat dalam menghalangi upaya mahasiswa untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran yang terjadi, dengan menutup ruang diskusi dan penyelesaian sengketa tanpa alasan yang jelas. Keadaan ini mencerminkan ketidakseriusan dalam membangun budaya demokrasi yang sehat di kalangan mahasiswa, yang seharusnya menjadi perhatian utama bagi pihak universitas.
Sebagai respons terhadap pelanggaran yang terjadi dalam Pemira Unram 2025, salah satu mahasiswa aktif, Maulana, mengajukan surat gugatan kepada Rektor Universitas Mataram. Dalam surat tersebut, Maulana menyampaikan berbagai keberatan terkait dengan proses verifikasi berkas yang tidak transparan, terburu-buru, dan tidak sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Ia mengungkapkan bahwa proses verifikasi yang hanya diberi waktu dua jam sangat merugikan salah satu pasangan calon, yakni pasangan Wira-Affan, karena tidak diberikan waktu yang cukup untuk melengkapi kekurangan berkas. Selain itu, Maulana juga menyoroti tindakan Wakil Rektor III yang seharusnya bertanggung jawab dalam mengawasi jalannya Pemira, namun justru memilih untuk menandatangani berita acara aklamasi tanpa menyelesaikan masalah-masalah teknis yang telah terbukti cacat. Bahkan setelah dilakukan audiensi, Wakil Rektor III memilih untuk tidak terlibat dalam penyelesaian sengketa ini, yang menunjukkan adanya pembiaran birokratis terhadap krisis demokrasi yang terjadi di dalam tubuh kemahasiswaan. Surat gugatan yang diajukan oleh Maulana menuntut pembatalan berita acara aklamasi, evaluasi terhadap kinerja panitia dan birokrasi, serta desakan agar pihak rektorat membawa masalah ini kepada tim hukum universitas untuk mendapatkan penyelesaian yang adil. Jika masalah ini tidak segera diselesaikan secara transparan dan adil, maka bukan hanya legitimasi BEM yang akan dipertaruhkan, melainkan juga kredibilitas universitas sebagai institusi yang seharusnya menjadi pelopor dalam menumbuhkan nilai-nilai demokrasi di Nusa Tenggara Barat. Keberhasilan atau kegagalan dalam menyelesaikan permasalahan ini akan sangat menentukan arah perkembangan demokrasi kampus di masa depan.
Opini Oleh: Akal Mandiri
Baca juga
Sengketa PEMIRA UNRAM 2025, WR3 Tidak becus menjalankan Tugasnya
KPRM Gagal, Demokrasi Kampus UNRAM Terancam!
0 Comments