| Sumber : Pinterest |
Dulu kita masih remaja
Usia anak SMA
Di sekolah kita berjumpa
Pulang pasti kita berdua,
Seperti penggalan lirik lagu ini yang selalu
membuatku merasa salah tingkah, padahal merasakan pulang berdua dengannya saja
aku tidak pernah tapi aku tidak peduli itu, dulu sebelum aku mengenalnya.
Kisah ini berawal dari
upacara bendera. Awal aku mengenalnya karena dia di panggil saat upacara sebab
dia menyumbangkan prestasi untuk sekolah dalam bidang olahraga. Aku mengagumi
seluruh orang yang berprestasi tapi kali ini rasanya berbeda. Waktu aku melihat
dia berjalan dengan gagah untuk maju kedepan menerima penghargaan dari sekolah
untuknya, aku merasa ada hal aneh dalam diriku tapi aku berpikir “ah paling
sebentar, gak akan lama.” Namun
ternyata, pikiranku tentang hal ini salah. Pada jam istirahat aku sering
berpas-pasan dengannya, ntah itu di tangga atau di lorong menuju arah kantin.
Pagi ini, aku sudah
sampai di sekolah seperti biasanya, aku sampai di sekolah dalam keadaan kelas
yang masih sepi. Alasanku kenapa selalu datang sepagi ini, ya karena aku ingin
menikmati suasana pagi dan hawa dingin di perjalananku dari rumah ke sekolah.
Jam berjalan, satu persatu temanku datang memenuhi kelas yang kosong ini. Aku
melihat temanku sebut saja namanya Rajendra, Rajendra datang bersama dia. Iya,
dia orang yang membuat diriku merasa aneh tiap melihatnya. Aku baru tahu
Rajendra adalah teman dari orang yang aku suka. Aku memperhatikan dia sekilas,
karena aku takut jika harus memperhatikannya secara terang-terangan. Setelah
dia mengobrol bersama Rajen, dia segera keluar dari kelasku dan kembali ke
kelasnya. Sebenarnya, setelah aku tahu Rajenteman dari orang yang aku suka, aku
ingin menanyakan perihal dia kepada Rajen tapi aku takut rajen memberitahukan
dia kalau aku bertanya tentang dirinya kepada Rajen.
Hari demi hari terus
berjalan, kini ada kemajuan yang aku tentang dirinya. Aku baru mengetahui
namanya baru baru ini, namanya Sangkara. Sangkara Aditama. Nama yang gagah,
nama yang indah, seperti orang yang mempunyai nama tersebut. Aku senang
memanggilnya dengan panggilan Kara, penggalan nama dari namanya “Sangakara.”
Hari itu aku dan Zeey , temanku sedang berjalan untuk ke kantin sambil
mengobrol ringan. Pandanganku teralihkan saat aku melihat orang yang aku selalu
aku cari beberapa waktu akhir ini, Zeey dengan jahil memanggil dia bertertiak
“Woi, Tama!,” jangan heran kenapa Zeey memanggilnya Tama, karena Tama itu nama
panggilannya sehari hari tapi aku saja yang iseng membuat nama khusus untuknya.
Tama yang mendengar panggilan itu menengok ke arah aku dan Zeey, dia jalan ke
arah kami. Aku panik setengah mati melihatnya berjalan ke arah kami, perasaanku
campur aduk saat itu, senang, deg degan,
kesal kenapa Zeey senekat itu memanggilnya. Saat dia berhadapan denganku dan
Zeey, dia pun mulai menyahut “woi, Zeey. Eh, ada Sasha juga, hai Sha.” Dia tahu
namaku? Dia
menyapaku lebih dulu? Oh
Tuhan, jantungnya berdetak lebih cepat tadi, Zeey yang melihatku di sapa
seperti itu hanya senyum senyum jahil. Di sapa lebih dulu, aku menyapanya
kembali “Eh iya, hai Kara.
Eh, maksudnya Tama, maaf maaf,” ucapku
merasa tak enak. “Santai aja, gapapa lo mau manggil nama gue gimana”
Kara menjawab, aku kikuk sekaligus malu karena keceplosan memanggilnya dengan
nama itu. Kejadian pertama kali interkasi dengannya terjadi begitu saja dengan
cepat tapi membuatku selalu teringat tentang kejadian ini.
Semenjak kejadian saling
menyapa itu, setiap bertemu dengannya, aku jadi sering menyapanya dan mengobrol
ringan dengannya. Ntah aku atau Dia yang menyapa duluan, pasti ada waktunya
setiap kami bertemu, ntah
itu di lorong kelas, berpas-pasan
di tangga, bertemu di kantin, atau tidak sengaja berpas-pasan saat pulang, kami saling menyapa satu sama lain. Selain
saling menyapa, aku dengannya juga lebih sering mengobrol bersama dengan topik
yang bermacam macam. Kadang kami mengobrol tentang masalah yang sedang viral,
masa masa sekolah kami di SMP kemarin, atau bahkan menceritakan masalah
percintaan kami yang berakhir sad ending.
Hari terus berjalan
seperti biasanya, sekolahku mengadakan kegiatan Mabit (Malam Bina Iman dan
Taqwa), aku menjadi salah satu siswa yang menjadi peserta kegiatan Mabit ini,
aku bersama peserta yang lain mempersiapkan barang barang yang di perlukan
karena kegiatan ini menginap di sekolah sehari semalam, rangkaian kegiatan ini
di isi dengan materi,sholat berjamaah, makan bersama, games, dan lain
sebagainya. Aku mengikuti kegiatan ini dengan bersemangat, saat sedang
mengikuti materi yang di paparkan, aku salah fokus dengan salah satu peserta laki-laki yang sedang fokus
mendengarkan materi. Aku memperhatikannya, aku kenal postur badan orang itu dan
benar saja orang itu menoleh ke arahku. Itu Kara, Kara ikut serta dalam
kegiatan ini. Sepertinya dia menoleh karena merasa ada yang memperhatikannya,
ia sadar kalau yang memperhatikannya aku, ia hanya sekedar tersenyum sapa dan
aku pun membalas juga sapaan senyumnya. Rangkaian acara berjalan dengan lancar
dan di akhiri dengan penutupan dan doa, peserta mabit pun diperbolehkan pulang
ke rumah masing-masing.
Saat aku sampai di rumah,
aku segera membersihkan badanku dan merapihkan barang barang yang kemarin aku
bawa, dan juga mengistirahatkan badanku. Saat sedang asik melamun, “Ting!,” notifikasi
hpku
berbunyi, aku mengambil hpku dan melihat siapa yang mengirimkan ku pesan.
Ternyata Fia, dia mengirimkan ku pesan yang membuatku jantungnya berdetak lebih
kencang, aku membaca pesannya “Sha, Tama minta nomor lo. Boleh gua kasih gak?,”
itu isi pesannya, aku cukup kaget, memang benar aku sering berinteraksi
dengannya tapi kami tidak saling bertukar media sosial. Aku buru-buru membalas pesan Fia, “Oh iya Fi, gapapa kasih
aja.”
Aku
menunggu balasan dari Fia, Dia pun membalas “Oke sha, gua kasih ya,” Aku membalas lagi “Iya, Fi.”
Beberapa menit setelah
pesanku dengan Fia berakhir, tiba-tiba “Ting!” Notifikasi ponselku
berbunyi, aku pun membuka dan ternyata ada pesan masuk “Sha, simpan nomor gua ya.” Aku tahu ini kara tapi aku
pura pura tidak tahu dengan membalas “Siapa ini?,” dia membalas lagi “Sangkara
Aditama, hehehehe.”
Betulkan
tebakanku. Kalau yang mengirimkanku pesan ini adalah Kara, aku membalas
pesannya lagi “Oh,
Tama. Oke Tam, gua simpan ya,”
“Oke Sasha, makasih ya” jawabnya,
“Okayy,
sama sama Tam.” Jawabku lagi. Percakapan kami berakhir disitu hari ini. Malam
harinya, dia kembali mengirimkan ku pesan.Di dalam chat tersebut kami
mengobrol dengan topik yang bermacam-macam,
bisa di bilang tidak jelas tapi kami menanggapi topik itu dengan seru.
Semenjak kami saling
menyimpan nomor itu, aku dan dia lebih sering lagi chatting, dia suka
menanyakan bagaimana aku di hari ini, dan aku juga menanyakan hal yang sama
untuknya. Dari chattingan itu juga, kami jadi sering berinteraksi seperti orang
yang memiliki hubungan di masa SMA, bahasa gaulnya sih pacaran padahal kami
tidak memiliki hubungan status apapun, sebatas teman. Aku dengannya sering di
ledek dengan kalimat “deket doang tapi gak jadian buat apa” atau “HTS
ya?,” tapi kami merespon dengan senyum-senyum saja tapi tidak membantah
ledekan tersebut. Interaksi kami tidak hanya sekedar mengobrol dan bercanda, pernah
ada moment dimana dia memintaku hanya untuk sekedar menemaninya bermain gitar
di depan kelasnya, aku menikmati tiap petikan gitar yang ia mainkan dan lagu
yang dia nyanyikan, dia juga pernah mengajakku untuk pulang sekolah bersamanya
padahal disitu dia sedang bersama temannya tetapi ia tidak ragu mengajakku
untuk pulang bersamanya. Kami juga pernah diskusi tentang pelajaran bersama, belajar
bersama juga. Meskipun kami dekat satu sama lain, kami tidak lupa dengan tugas
kami. Aku dan Kara tetap fokus pada tujuanku untuk mencapai cita cita, dia pun
melakukan hal yang sama. Dia juga fokus menggapai cita citanya untuk di masa
depan.
Hari ini, aku menjalani
aktivitasku di sekolah seperti biasanya. Saat bel istirahat berbunyi, barulah
aku merasa ada yang berbeda. Aku tidak melihat Kara daritadi, saat aku menuju
arah kantin bersama temanku aku melihatnya, dia juga melihatku tetapi hanya
sekedar menatap, ada yang aneh dari sikapnya. Saat menatapku itu, tidak ada
senyuman sama sekali di bibirnya dan pada saat menatapku itu, dia terkesan buru
buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Seolah olah dia tidak mau menatapku
terlalu lama. Aku merasakan keanehan dari sikapnya itu, mengapa dia? Apa aku ada berbuat salah atau dia butuh waktu sendiri? Oh atau dia sudah
menemukan pilihan terbaiknya?
Bermacan-macam
pikiranku tentang perubahan sikapnya itu. Aku pikir dia butuh waktu sendiri,
jadi aku juga tidak mau terlalu masuk ke dalam waktu yang ia butuhkan.
Waktu terus berlalu,
tidak berasa ternyata sudah hampir seminggu aku dan dia tidak mengobrol atau pun menyapa. Tiap aku
berpapasan dengannya, dia seolah tidak melihatku, bahkan ia sering kali menghindar.
Aku juga sudah jarang melihatnya keluar kelas, padahal dulu sering rasanya aku
melihat dia keluar kelas bersama teman-temannya, apa aku salah kalau aku
menganggap dirinya menghindariku?
Aku menjalani hariku seperti biasanya,
walau merasa ada hilang dan merasa berbeda, tapi aku tidak mau terlalu terlihat
sedih karena dia menghindariku. Sampai akhirnya, aku merasa jenuh karena bohong
kalau aku tidak memikirkan kenapa dia menghindar untuk berinteraksi denganku. Akhirnya
aku memberikan diriku untuk bertanya kepadanya, pas sekali hari itu, istirahat
kedua dia datang ke kelasku dan aku sedang duduk di bangku panjang depan kelas. Sebelum dia masuk ke dalam
kelasku, aku segera menarik tangannya dan menyuruhnya duduk di sebelahku “Sangkara,
duduk di sini dulu sebentar. Gua mau ngomong.” Dia ingin menghindar
tetapi aku berhasil menahannya. Hening sesaat bersamaan saat itu, aku membuka
obrolan “Lo kenapa? Kenapa ngehindar dari gua belakangan
ini? Ngomong
sama gua kalo emang
ada masalah yang perlu di omongin. Jangan menghindar begini, gak enak rasanya.
Tiap ketemu atau pas-pasan rasanya kayak orang asing yang gapernah saling
kenal.” Dia terdiam beberapa saat, lalu
menjawab “Gua gak menghindar, gua cuman
jaga jarak,” alisku mengkerut keheranan mendengar jawabannya. Jaga jarak? Untuk apa tanyaku dalam
hati, aku bertanya lagi kepadanya “Lo jaga jarak tapi sikap lo nunjukin seolah lo
menghindar dari gua, apa yang buat lo menghindar gini?” “Ada chat dari orang
gak dikenal, intinya dia bilang gua harus jaga jarak sama lo. Dia bilang lo
punya hubungan sama seseorang itu yang buat dia bilang ke gua buat jaga jarak
sama lo.” Aku semakin heran mendengar penjelasannya lagi, aku? Punya pacar? Sejak kapan? Aku bertanya
pada diriku sendiri, aku lebih heran lagi ketika memikirkan apa yang membuat oraang tidak dikenal ini mengirimkan pesan kepada Kara dan bicara
seperti itu. Sebenarnya, aku ingin tau siapa yang mengirimkan pesan ini tapi ah
sudahlah, paling hanya orang jahil saja. Setelah aku mendengarkan alasan
mengapa ia menghindariku, aku menjelaskan bagaimana kebenaran sebenarnya. “Kar,
sebenarnya gini
gua sama sekali gak punya hubungan sama seseorang, sekalipun punya hubungan
itu hanya seebatas teman aja. Lagipula, kalau pun gua punya hubungan sama
seseorang, gua gak bakalan peduli, gua gak bakal se-peduli ini
sama lo, Kar. Sekarang gua yang tanya sama lo, kenapa lo bisa percaya secepat itu
sama omongan seseorang yang bahkan lo gaktau siapa pengirimnya. Kenapa bisa
secepat itu percayanya? Kenapa
gak coba tanya ke gua dulu, Kar? Sekarang coba lu pikirin penjelasan gua tadi.”
Kara terdiam dan hening untuk beberapa saat, lalu dia menjawab lagi “Maaf .
Maaf karena udah buat kesimpulan
sendiri, padahal di dalamnya berkaitan dengan kita.” “Kara, gua juga mau minta maaf karena
terlambat ngasih penjelasan tentang ini,” ucapku.“Lo jangan ikut minta maaf, di
sini gua yang salah karena udah ambil kesimpulan sendiri. Sekarang baikkan ya?
Jujur, gua juga gak enak harus diam-diaman sama lo. Gak saling nyapa.” “Jujur
iya, sekarangmasalahnya udahjelaskan, udah selesai. Inti permasalahannya juga
udah jelas, jadi gak perlu lagi jadi kayak orang asing yang gak saling kenal,”
Jawabku.
Setelah permasalahan itu,
aku dan Kara menjadi diam dan Kara yang
menyadari itu, dia langsung menanyakan apakah aku baik-baik saja atau apa ada
yang mengangguku. Dia juga jadi lebih peka dari sebelumnya. Kalau sebelumnya
aku dan dia hanya sebatas saling mengirimkan pesan, kini aku dengannya jadi
lebih sering telponan untuk sekedar mengobrol. Jujur, aku lebih suka telponan
dengannya daripada sebatas mengirimkan pesan teks. Kalau ditanya, “Kenapa
sih lebih suka telponan daripada kirim kabar lewat teks?” Aku akan
menjawab, “Karena Aku suka tiap kali aku mendengar suara Kara. Suara ia
menyapaku, suara ia memanggil namaku, dan suara ia tertawa.” Semuanya
indah, aku suka suaranya yang membuatku tenang. Mungkin ini sedikit hiperbola
tapi begini adanya, kejujuran yang mungkin tak akan aku ucapkan langsung
kepadanya.
Kedekatan kami ternyata tidak
berakhir begitu saja dan malah berlanjut sampai aku dengannya naik ke kelas
berikutnya dengan status hubungan yang sama. Banyak teman-temanku yang geram
tentang hubunganku dan Kara yang tidak tahu bagaimana ujungnya itu. Pernah
salah satu temanku bertanya “Sha, lo kenapa masih nyaman sama Kara sampai saat
ini? Padahal hubungan lo sama dia gak jelas mau dibawa kemana, gak ada
kepastiannya.” “Kalau ditanya soal alasan, aku tidak punya alasan pasti kenapa
aku masih nyaman dengan Kara, walaupun tidak ada kejelasan yang pasti. Aku
senang berdekatan dengan Kara, seperti ada energi positif saat aku bertemu dengannya.”
Jawabku sembari tersenyum.
Hari ini sekolah berjalan
dengan lancar dan ini adalah waktunya pulang, saat menuju parkiran sekolah, aku
melihat Sangkara
yang ternyata sudah menungguku untuk pulang bersama. Aku tersenyum dan
melambaikan tanganku saat dia sudah menyadari kehadiranku “Hai, lo udah lama nunggu di sini? Maaf ya, tadi
harus piket dulu” sapaku.
Dia
menjawab “Santai aja, gua juga baru di sini
kok. Yuk naik, kita pulang.” Aku mengangguk, lalu naik ke motor Samgkara. Di depan
gerbang sekolah, aku berpamitan dengan penjaga sekolahku yang masih ada di pos
jaga “Pak, duluan ya,”
Ucapku sembari tersenyum. “Iya,
neng. Hati-hati ya,” Balasnya.
Saat di perjalanan pulang, aku menikmati angin sore yang membuatku sedikit
mengantuk. Di tengah aku menikmati sore itu, Kara bertanya kepadaku “Sasha,
nanti malam lo sibuk gak?”
“Ngga, malam nanti kebetulan gua free.
Emang kenapa, Kar?” Jawabku.
“Oh, ngga. Nanti malam gua mau ngajak lo keluar, boleh kan?” Tanyanya lagi, “Oh
boleh tapi nanti loaja yang sekalian izin sama bunda gua ya, Kar.” “Aman, nanti
sekalian gua yang minta izin sama mama lo.” Jawab Kara. Akhirnya, sampailah aku
dan Kara di depan rumahku. Aku mengajaknya untuk masuk,
“Assalammu’alaikum, nda. Sasha pulang.” “Wa’alaikum salam, Sha. Loh ada Kara juga,” Jawab
mamaku. “Assalamualaikum, bund. Hehehehe , iya bund. Bund, maaf sebelumnya Kara
mau minta izin nanti malam buat ajak Sasha main keluar, boleh gakbund? Bunda
tenang aja, Kara bakalan bawa pulang Sasha gak lebih dari jam 10 malam.”
“Boleh, Kara. Ajak si Sasha main, biar sesekali keluar kamar tiap libur. Tapi
ingat ya, jangan pulang terlalu malam.” Jawab bunda. “Aman bunda, bunda tenang
aja bersama Kara, Sasha aman.” Setelah mendapatkan izin itu, Kata berpamitan
pulang denganku dan Bunda. “Bund, Kara pulang ya. Sha, nanti malam jam 7 gua
jemput,” “Iya, hati hati ya,
Kara.” Ucapku.
Tepat pukul 7, Kara menjemputku untuk pergi
bersama. Aku dan Kara kepada bunda dan ayahku untuk berangkat pergi. Aku mau
pun Kara menikmati perjalanan ini, di tengah perjalanan aku bertanya kepada
Kara “Kar, ini kita mau kemana?” “Ikut dulu aja, mau ke tempat rahasia”
Jawabnya sambil terkekeh. Aku memutar bola mata malas aja mendengar jawabannya.
Hingga akhirnya, aku dan dia sampai di tempat yang ia maksud. Aku terpukau
melihat tempat itu, tempat yang maksud adalah sebuah tempat dengan hamparan
rumput luas yang di tengahnya ada sebuah danau dan dihiasi dengan lampu lampu
taman yang indah. “Cantiknya, lo tau tempat kayak gini darimana?” Tanyaku. “Mau
tau aja atau mau tau banget” Jawabnya sambil tertawa. “Ih, serius!” Ucapku
sambil mencubit bahunya. “Aduh aduh, sakit. Ini gua serius. Udah lo nikmati aja
pemandangan di depan lo ini daripada banyak tanya” Jawabnya. Setelah
pertengkaran kecil itu, aku sibuk memandangi sekitarku yang cantik nan indah
itu. “Sha, sebenarnya gua ngajak lo kesini karena gua mau ngomongin tentang
kita,” Ucap Kara sembari menatapku.
Deg!
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya tetapi aku berusaha menutupi hal
itu. “Sha, mungkin lo udah tau tentang perasaan gua ke lo gimana. Iya, Sha. Gua
suka sama lo, sejak awal gua ngeliat lo lagi natap gua diam-diam pas gua sama
Rajen untuk pertama kalinya,” Aku terkejut mendengar ucapannya karena ia tahu
bahwa aku pernah menatapnya secara diam-diam saat ia bersama Rajen. Ia terkekeh melihat keterkejutanku, lalu
melanjutkan ucapannya “Jangan terkejut gitu, santai aja. Sha, selama setahun
ini antara kita emang belum ada kejelasan, kepastian dari hubungan kita ini. Tapi
lo harus tahu sha, kalo gua beneran suka, beneran sayang sama lo. Gua nyaman
tiap berdekatan sama lo, rasanya tenang. Gua suka apa pun tentang lo, sama
halnya gua suka tentang gitar. Sha, sekarang gua pikir waktu yang tepat buat
gua ngomong semua apa yang gua rasain tiap sama lo. Maaf karena gua baru berani
tentang ini sekarang. Gua gak pintar buat ngerangkai kata indah buat ungkapin perasaan
gua ke lo tapi yang jelas hari ini gua mau ngasih kepastian buat hubungan ini, Sha.”
.
“Di hari ini. Gua, Sangkara Aditama meminta izin kepada seorang perempuan cantik
yang selalu mendukung gua dalam kondisi apapun. Sasha Tamara, izinin gua buat
nemenin hari-hari lo dan buat hari lo lebih berwarna dari sebelumnya. Izinin
gua buat selalu menjaga lo dalam apapun kondisinya dan juga izinin gua buat
jadikan lo sebagai rumah sebagai tempat gua beristirahat paling nyaman,
sekaligus obat dari luka lama yang pernah terjadi sebelumnya. Will you be my girlfriend, Sha?”
Mendengar
pernyataan itu rasanya seperti banyak
kupu-kupu yang beterbangan di perutku. Menggelitik rasanya. Aku merasa
seperti sangat di sayang dan di cintai oleh seseorang, yang bukan bagian dari
keluargaku. Ingin menangis rasanya merasakan suaasana seperti ini tapi ini
bukan saat untuk menangis. Aku tersenyum manis mendengar semua ungkapan yang ia
ucapkan. “Kara, maaf sebelumnya tapi kayaknya gua gabisa.”
“Gabisa gimana
maksudnya?”
Belum aku
menyelesaikan ucapanku, Kara sudah memotong dan bertanya seperti itu.“Iya,
kayaknya gua gabisa. Gabisa nolak maksudnya. Yes, I will Kara.”
Mendengar
jawabanku, senyum manis di bibir Kara mengembang. Ia menggengam tanganku dan
mengucap terima kasih karena telah mau menerimanya. Malam ini adalah saksi
akhir dari ketidakpastian hubungan kami sebelumnya. Aku dan Kara banyak
mengobrol dan tertawa karena banyak hal. Di sana untuk pertama kalinya 2 orang
remaja yang berawal dari “Aku dan Kamu,”
kini berubah menjadi “KITA.”
EPILOG
Dan kini kamu ada di mana?
Dan kini rindu, apa kabarmu?
Dan ingin lagi
Dan ingin lagi jumpa
Dulu kita masih bersama
Asmara anak SMA
Ku tuangkan pada lirik lanjutan ini pada epilog
karena lirik ini menggambarkan kondisi bagaimana aku dan Tama sekarang. Jika
diberikan kesempatan bertemu pada masa terbaik diri kami masing-masing, aku
memiliki banyak pertanyaan untuknya seperti, “how are you, Tam? are you
happy?”
Tentang kita memang tidak
abadi, jadi izinkan aku mengabadikan bagaimana kita lewat aksara yang
aku tuliskan pada cerita ini. Beberapa hal yang harus kamu tau, mengenalmu di
masa SMA adalah salah satu bagian paling menyenangkan yang pernah terjadi dan
jatuh cinta denganmu merupakan bagian paling indah yang akan selalu ku ingat
dari sekian banyak bagian yang ada pada masa putih abu.
Terima kasih karena telah
menjadi bagian dari kisah yang paling menyenangkan di masa SMA ku. Izinkan aku
menceritakan tentangmu melalui tiap akasara
Selamat abadi tokoh favoritku..
Senang mengenalmu di masa
putih abu.
TAMAT
Rizky Avifa Nayyara Amir
0 Comments