![]() |
Kampus Akafarma Sunan Giri Ponorogo (sumber: akafarmaponorogo.ac.id) |
PONOROGO — Dugaan pemotongan dana bantuan biaya hidup KIP Kuliah kembali mencuat di Jawa Timur. Kali ini, dugaan tersebut terjadi di Akademi Farmasi (Akafarma) Sunan Giri Ponorogo, sebuah perguruan tinggi swasta yang memiliki dua program studi, D3 Anafarma dan D3 Farmasi.
Seorang mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya melaporkan bahwa dari dana bantuan biaya hidup sebesar Rp4,8 juta per semester, pihak kampus memotong Rp4,5 juta. Akibatnya, mahasiswa hanya menerima sisa Rp300 ribu. Pemotongan ini disebut sudah berlangsung lama, bahkan sebelum narasumber ini masuk ke perguruan tinggi tersebut.
Menurut narasumber, kampus meminta dana tersebut untuk menutupi biaya kegiatan akademik seperti Praktik Kerja Lapangan (PKL), praktikum, biaya kuliah, hingga wisuda. Namun, ada kejanggalan dalam praktik ini. Meskipun dana telah dipotong, mahasiswa KIP Kuliah tetap diwajibkan membayar biaya PKL sebesar Rp2.150.000. Selain itu, mereka juga harus membayar uang ujian seperti Ujian Karya Tulis Ilmiah (KTI), Uji Kompetensi (UKOM), dan OSCE/OSPE, dengan total biaya mencapai Rp3.100.000, serta uang sewa gedung untuk wisuda sebesar Rp3,5 juta.
"Dulu di awal kuliah disuruh menandatangani surat pernyataan akan menyerahkan uang Rp4,5 juta ke kampus setiap pencairan KIP Kuliah," ujar narasumber. Praktik ini sangat bertentangan dengan Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 10 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Indonesia Pintar Pendidikan Tinggi yang menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi tidak boleh memungut tambahan biaya apapun terkait operasional pendidikan penerima Program KIP Kuliah yang terkait langsung dengan proses pembelajarannya. Adapun untuk pungutan diluar operasional Pendidikan, harusnya perguruan tinggi mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Dugaan praktik pemotongan ini juga diperkuat oleh rekaman suara mantan Direktur Akafarma Sunan Giri Ponorogo, Ulfa. Dalam rekaman tersebut, Ulfa mengatakan, "Dari Rp4,8 juta bukan sebagai living cost kalian tapi sebagai pengganti UKT. Apa yang kalian setor ke kami ini akan dibagi untuk biaya PKL, praktikum, kuliah sekaligus wisuda. Jika ada yang kurang, maka harus ditambah lagi oleh mahasiswa." Pernyataan ini menunjukkan bahwa dana bantuan biaya hidup KIP Kuliah dianggap sebagai pengganti Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh pihak kampus, padahal seharusnya kedua biaya ini berbeda.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas penyelenggaraan program KIP Kuliah. Jika sebuah perguruan tinggi merasa dirugikan secara finansial dengan menerima mahasiswa KIP Kuliah, seharusnya mereka tidak mengajukan permohonan kuota, bukan malah melakukan pemotongan yang merugikan hak mahasiswa.
0 Comments