Indonesia tengah menghadapi krisis sampah yang mengkhawatirkan.
Dengan timbunan sampah mencapai 31,9 juta ton pada 2024—di mana 11,4 juta ton
tidak terkelola dengan baik—negeri ini menyandang predikat sebagai salah satu
penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Proyeksi sampah plastik pada 2025
yang mencapai 9,9 juta ton menunjukkan urgensi
ekonomi sirkular.
Sebagai salah satu instrumen utama, Extended Producer
Responsibility (EPR) seharusnya menjadi senjata ampuh dalam mengatasi
krisis sampah plastik. Namun implementasinya masih belum sempurna. Meski telah
diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2008, regulasi EPR baru akan diterapkan
secara bertahap pada 2025. Pertanyaannya, Mengapa butuh hampir dua dekade untuk
menerapkan kebijakan yang seharusnya menjadi tulang punggung pengelolaan
sampah?
Untuk memahami tantangan tersebut, kita dapat membandingkannya
dengan Jerman yang telah menerapkan sistem deposit-refund sejak 2003 dengan
tingkat pengembalian 98%. Atau Prancis yang sejak 2007 mewajibkan produsen
membiayai 80% biaya daur ulang dengan hasil tingkat daur ulang kemasan mencapai
70%. Contoh ini menunjukkan bahwa regulasi yang jelas dan tegas dapat mendorong
hasil yang signifikan
Kelemahan EPR Indonesia terletak pada tidak adanya target spesifik
terukur, minimnya insentif dan sanksi tegas, serta fragmentasi tanggung jawab
antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, target ambisius pengurangan sampah
plastik 70% pada 2025 akan sulit tercapai tanpa perbaikan fundamental.
Di balik krisis ini, tersimpan potensi ekonomi besar. Dengan 64,3%
atau 20,5 juta ton sampah yang berhasil dikelola pada 2024, Indonesia memiliki
fondasi yang cukup untuk mengembangkan industri daur ulang lebih luas.
Model ekonomi sirkular menawarkan model transformatif. Teknologi waste-to-energy,
misalnya, dapat mengubah
sampah organik menjadi listrik atau biogas. Sementara daur ulang plastik
menjadi pelet mengurangi ketergantungan pada virgin plastic dan menciptakan
lapangan kerja baru.
Peran UMKM sangat vital dalam ekosistem ini, Bank sampah, industri
kreatif berbasis daur ulang, dan koperasi pengepul telah menjadi tulang
punggung ekonomi sirkular grassroot. Namun, mereka butuh dukungan lebih,
seperti akses pemodalan, pelatihan teknologi, dan jaminan pasar.
Untuk itu pemerintah perlu menciptakan insentif fiskal untuk
investasi teknologi daur ulang dan kewajiban penggunaan bahan daur ulang
minimal dalam produk baru. Studi global menunjukkan transisi ke ekonomi
sirkular dapat menghasilkan nilai USD 4,5 triliun pada 2030, yang tentu saja
menguntungkan Indonesia.
Namun, krisis polusi plastik tidak
hanya berdampak pada daratan, tetapi juga mengancam lautan Indonesia yang
menyumbang 20% stok ikan dunia tengah menghadapi ancaman serius dari polusi
mikroplastik. Partikel plastik kurang dari 5 mm ini telah menyusup ke seluruh
rantai makanan laut, menyebabkan gangguan reproduksi dan penurunan kelangsungan
hidup biota laut.
Oleh karena itu, pemerintah harus memperkuat regulasi EPR dengan target terukur dan sanksi jelas. Industri tidak boleh bersembunyi di balik greenwashing—tanggung jawab harus diwujudkan nyata melalui redesign produk dan investasi teknologi ramah lingkungan. Masyarakat pun berperan dengan mengurangi plastik sekali pakai dan memilah sampah.
Referensi
- Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, 2024
- GoodStats Data Indonesia, 2024-2025
- WWF Indonesia: EPR Guideline on Plastic Products, 2023
- Universitas Airlangga: Dampak Mikroplastik, 2024
- ANTARA News: EPR Implementation, 2025
Jurnalis: Nadiva
0 Comments