BIDIKIN.COM – Ada yang lebih cepat habis dari uang di dompet pas tanggal tua? Ada dua kandidatnya, sebungkus rokok atau sekotak tempe. Yang satu bikin kantong bolong, yang satu bikin perut kenyang, tapi kok ya seringnya yang nggak sehat itu lebih laris?Foto: @dinkes kalteng
Keluarga dengan kepala rumah tangga perokok aktif, pemenuhan kebutuhan nutrisi cenderung harus berlomba dengan pemenuhan konsumsi rokok. Seringkali kebutuhan nutrisi menjadi tersingkir apalagi harga rokok saat ini mahal. Kebutuhan beberapa bahan makanan pokok dan lauk pauk juga beberapa bisa naik turun harganya. Secara perhitungan bila harga rokok mahal tentu akan dapat mengurangi pengeluaran yang ditujukan untuk konsumsi makanan sehat. Padahal tubuh kita membutuhkan asupan nutrisi seimbang guna mempertahankan imunitas, kesehatan dan kebugaran. Pada keluarga yang masih memiliki anak, tentu ini juga akan berdampak untuk tumbuh kembangnya.
Perilaku konsumsi rokok tidak bisa dipisahkan dengan kemiskinan tersebab alokasi anggaran untuk beli rokok di rumah tangga miskin (perkotaan dan perdesaan) rerata mencapai 10-11 persen, dari total pengeluarannya. Bahkan anggaran untuk beli rokok jauh lebih tinggi dari pembelian lauk-pauk, yang hanya 3,5 persenan saja. Pantas jika prevalensi stunting di Indonesia juga masih sangat tinggi, yakni 19,8 persen (2024), masih di atas standar WHO. Bahkan menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia, yang semula 55 jutaan (2019) turun menjadi 47 juta (2023), tak terlepas dari pengeluaran untuk belanja rokok yang sangat tinggi. Pola konsumsi rokok menjadi beban ekonomi bagi kelas menengah di Indonesia.
Tembakau (rokok) diposisikan sebagai barang normal. Merokok pun dianggap perilaku normal, lazim, sekalipun oleh anak-anak. Padahal rokok jelas bukan produk normal, sekalipun legal. Tersebab rokok adalah produk terkena cukai dan sifatnya adiktif (menimbulkan kecanduan bagi pemakainya). Tragisnya, sekalipun rokok barang terkena cukai dan adiktif, tetapi sungguh paradoks manakala rokok justru dijual bebas, nyaris tak ada pengendalian. Rokok dijual di warung, toko, bercampur kebutuhan pokok (bahan pangan), bahkan obat-obatan. Anak anak kecil pun bisa mengaksesnya dengan sangat gampang.
Nilai rata-rata pengeluaran per kapita untuk rokok dan tembakau pada penduduk pada lapisan 20 persen terbawah mencapai Rp 37.643. Artinya jika dalam satu rumah tangga ada 2 orang yang mengonsumsi rokok, maka pengeluaran rumah tangga untuk rokok adalah Rp 75.286.Jika nilai Rp 75.286 ini kemudian dikonversikan ke bahan pokok, akan mendapat beras, tempe/tahu dan telur ayam.
Kita boleh bilang ‘rokok hak pribadi’, tapi ketika anak-anak makan nasi tanpa lauk karena uangnya habis untuk tembakau itu sudah jadi persoalan bersama. Jadi, masih mau bilang rokok lebih penting dari beras dan telur?
Author: Raysa Amanda Aurora
0 Comments