Namaku Alfi. Aku baru saja lulus SMA tahun ini. Bukan
dari sekolah favorit, bukan pula dari keluarga terpandang. Aku cuma anak desa
biasa, yang hidup di rumah kecil beratapkan seng. Kalau hujan deras, suara
gemericiknya seperti konser dari langit. Lantai rumahku belum semua berkeramik,
sebagian masih beralaskan semen dingin dan kasar. Di dapur, kompor gas tua
sering ngambek kalau dinyalakan. Kadang kami harus masak pakai tungku kayu.
Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan anak orang kaya yang
bisa kuliah di luar negeri atau punya pilihan pekerjaan dari relasi ayahnya.
Aku juga bukan anak orang dalam yang bisa langsung ditempatkan di kantor bagus.
Aku cuma punya niat, semangat, dan keyakinan bahwa hidup bisa berubah kalau aku
berani mencoba. Tapi kenyataannya, mencoba saja ternyata tak cukup.
Setelah lulus, aku mulai melamar pekerjaan ke
mana-mana. Hampir setiap minggu aku naik motor pinjaman—motor tua milik omku
yang bunyinya berisik dan knalpotnya ngebul. Panas-panasan, hujan-hujanan, bawa
map cokelat berisi CV seadanya, ijazah, dan foto yang kupasang senyum paling
sopan. Lebih dari 30 perusahaan sudah kudatangi. Sebagian hanya menerima
berkas, sebagian lagi langsung berkata, “Kami butuh yang sudah
berpengalaman,” atau, “Minimal S1 ya, Mas.”
Aku cuma bisa tersenyum kecil dan mengangguk, padahal
dalam hati rasanya seperti ditampar. Aku ingin menjawab, “Kalau semua
butuh pengalaman, siapa yang mau kasih aku kesempatan pertama?” Tapi
aku tahan. Aku tahu, protes tak akan membuka pintu.
Dulu, aku pernah nekat merantau. Saat itu, aku sudah
menyerahkan lamaran dan ikut wawancara di kota. Harapanku membumbung tinggi.
Aku sudah membayangkan bisa kerja, punya penghasilan, bantu orang tua, bahkan
nabung sedikit demi sedikit. Tapi belum sempat kerja dimulai,
keluargaku—khususnya bulik dan ibuku—tak merestui. Katanya mereka takut. Takut
aku kenapa-kenapa di kota besar. Takut aku tersesat dalam dunia yang tak mereka
kenal.
Aku sempat ngotot. Tapi setelah bicara panjang dengan
bulikku, aku menyerah. Bulik bilang, “Alfi, kamu anak baik. Tapi jangan
nekat. Kalau nanti kamu kenapa-kenapa, siapa yang tanggung jawab?”
Ucapan itu membuatku diam. Aku pulang. Tapi jujur saja, aku malu. Malu karena
sudah pamit ke keluarga besar, bahkan ada yang sampai mengantar. Tapi ternyata,
keberangkatanku cuma jadi angin lalu. Aku kembali tanpa sempat memulai apa-apa.
Rasanya seperti jatuh di tengah panggung, disaksikan banyak mata.
Beberapa waktu setelah itu, aku coba lagi. Kali ini
diam-diam. Aku tak bilang siapa-siapa. Aku pergi ke kota, membawa ransel tua,
dua stel pakaian, dan uang pas-pasan. Aku diterima kerja di sebuah toko roti.
Sederhana, tapi bagiku itu awal yang sangat berharga. Aku datang pagi-pagi,
bantu angkat bahan, susun loyang, bersihin meja. Bosnya tegas tapi ramah. Ada
beberapa karyawan lain, mereka kerja cepat, wajahnya kaku-kaku. Tak banyak
bicara.
Baru dua jam bekerja, ponselku berdering.
Berkali-kali. Saudara-saudaraku tahu aku pergi. Mereka panik. Ada yang bilang
aku keterlaluan karena tak pamit. Ada yang marah, tapi ada juga yang cemas dan
minta aku pulang. Aku dilema. Aku cuma ingin kerja, bukan kabur. Tapi karena
tak mau bikin keluargaku tambah khawatir, aku bilang ke bos kalau aku harus
mundur.
Bosku cuma angguk pelan. Tak banyak tanya.
Senior-senior di situ juga cuma lihat sebentar, lalu lanjut kerja. Tak ada yang
berkata, “Semangat ya.” Tak ada yang tanya, “Kenapa buru-buru resign?” Aku
merasa... kosong. Mungkin memang aku belum berarti apa-apa. Baru dua jam kerja,
bahkan belum sempat tunjukkan kemampuan. Tapi aku harus pergi.
Di perjalanan pulang, motor tuaku meraung pelan
menembus sore yang mulai mendung. Di jalan desa yang penuh lubang dan sawah di
kanan-kiri, aku berpikir panjang. Apa aku gagal? Apa aku bodoh? Tapi dalam
diam, aku juga sadar... mungkin ini bukan waktuku. Mungkin Tuhan belum izinkan
aku pergi jauh karena Dia tahu aku belum siap. Atau mungkin, Dia sedang
menyelamatkanku dari sesuatu yang tak aku tahu.
Kini aku memilih tetap tinggal di desa. Mencari kerja
seadanya di sini. Menyibukkan diri agar tak terlalu banyak berpikir tentang
kegagalan. Kadang bantu tetangga, kadang bantu di kebun. Memang hasilnya tak
seberapa. Tapi setidaknya, aku tetap bergerak.
Aku memang belum berhasil. Tapi aku juga belum
berhenti. Aku masih ingin mencoba. Mungkin jalannya lebih lambat dari yang
lain. Tapi aku percaya, langkah kecilku hari ini bisa jadi pijakan kuat untuk
masa depan. Biar pelan, asal tak diam.
“Aku memang
belum berhasil. Tapi aku juga belum berhenti... Mungkin jalannya lebih lambat
dari yang lain. Tapi aku percaya, langkah kecilku hari ini bisa jadi pijakan
kuat untuk masa depan.”
Author : Alfianto
1 Comments
Kerennya, ikut terhanyut ✨
ReplyDelete