Terkini

Mengenal Sejarah Budidaya Tembakau: Sebuah Refleksi Filosofis dan Islamisasi di Temanggung

Sumber: https://images.app.goo.gl/4UKnz

Di tengah dataran tinggi Temanggung, terdapat sebuah legenda tentang Ki Ageng Makukuhan, seorang tokoh yang membawa tembakau ke Temanggung. Kota ini memiliki julukan "Kota Tembakau" karena menjadi salah satu daerah penghasil tembakau terbesar dan terbaik di Indonesia. Budidaya tembakau di Temanggung memiliki sejarah panjang yang dimulai dengan peran penting Ki Ageng Makukuhan.

Mengenal Tokoh Ki Ageng Makukuhan

Ki Ageng Makukuhan adalah seorang mualaf dari Tiongkok bernama Ma Ku Kwan. Ia datang ke Jawa untuk memperdalam agama Islam di bawah naungan Kerajaan Demak Bintoro, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kabar tentang Kerajaan Demak yang memiliki banyak pendukung, bahkan dari kalangan para wali, tersebar hingga ke Tiongkok, menarik Ma Ku Kwan untuk datang, bertemu Sunan Kudus, dan memperdalam ilmu serta akidah keislamannya.

Pada masa itu, banyak pendekar dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit yang masih bermusuhan dengan Kerajaan Islam, karena sebelumnya mereka memeluk agama Hindu dan Buddha. Para pendekar tersebut memiliki banyak padepokan. Ma Ku Kwan kemudian diangkat menjadi murid Sunan Kudus. Para pendekar menguji kemampuan Ma Ku Kwan, yang berujung pada perkelahian.

Karena Ma Ku Kwan adalah murid Sunan Kudus yang berjuang menjaga martabat kewalian dan memiliki strategi, ia dititipkan kepada Sunan Kalijaga untuk belajar. Sunan Kalijaga juga mengajarkan Ma Ku Kwan tentang cocok tanam sesuai dengan metode agraris, mengingat mayoritas masyarakat di Pulau Jawa adalah petani. Tujuan terbesar para wali saat itu adalah penyebaran agama Islam secara masif di Jawa. Mereka menargetkan daerah kaki Gunung Sumbing-Sindoro, yang dulunya merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno dan penganutnya adalah Hindu dan Buddha.

Setelah mempelajari dan memiliki bekal bercocok tanam, Ma Ku Kwan diutus untuk menyiarkan agama di daerah Kembang Madu, yang sekarang disederhanakan menjadi Kedu. Sebelum berangkat, Ma Ku Kwan diberi nama samaran Jaka Teguh. Setibanya di Kedu, Ma Ku Kwan bertemu dengan seorang petinggi bernama Hardapi Kukuh, yang menguasai wilayah teritorial Kedu Temanggung. Kedatangan Ma Ku Kwan disambut dengan baik oleh Hardapi Kukuh.

Melihat sikap dan perilaku Ma Ku Kwan yang sopan santun dan memiliki kepiawaian, Hardapi Kukuh tertarik padanya. Hardapi Kukuh bersumpah, "Saya mempunyai putri, tetapi putri saya itu nandhang memolo, cacat netra. Saya akan mengadakan sayembara bagi siapa saja yang bisa menyembuhkan putriku, jika dia laki-laki maka akan kujadikan menantu dan kuberikan tahta Padepokan Kedu seutuhnya."

Atas daya, upaya, dan kehendak Allah, Jaka Teguh memiliki karomah. Beliau mengambil telur ayam kampung sebagai syarat, dan dengan sebutir telur, Jaka Teguh dapat menyembuhkan Sri Lintang Katon. Beliau kemudian dinikahkan menjadi suami istri. Seiring berjalannya waktu, Hardapi Kukuh semakin pikun. Sesuai perjanjian, seluruh wilayah Kedu diserahkan kepada Jaka Teguh, yang kemudian diberi nama prasasti Makukuhan atau Ki Ageng Makukuhan. Tata pemerintahan di bawah kepemimpinan Ki Ageng Makukuhan menjadi makmur, gemah ripah loh jinawi.

Asal-Usul Islamisasi di Temanggung

Dalam lipatan sejarah Temanggung yang kaya akan warisan budaya, terdapat cerita tersembunyi tentang bagaimana Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Ini adalah kisah tentang transformasi spiritual yang membentuk karakter dan identitas Temanggung, kaya dengan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal yang erat berkaitan dengan Ki Ageng Makukuhan.

Beliau dikenal sebagai salah satu wali yang pertama kali menyebarkan Islam di daerah Kedu (Temanggung) melalui berbagai cara, termasuk bercocok tanam dan memperkenalkan tanaman tembakau. Ki Ageng Makukuhan pertama kali menyiarkan agama Islam di Kedu.

Masyarakat setempat yang masih mengikuti kepercayaan turun-temurun, mayoritas Hindu-Buddha, awalnya tidak terlalu memperhatikan ucapan Ki Ageng Makukuhan. Namun, beliau tidak menyerah. Bahkan, beliau melakukan salat di tanah terbuka sehingga menarik perhatian masyarakat sekitar. Saat masyarakat setempat bertanya, "Apa yang sebenarnya dilakukan?" Ki Ageng Makukuhan mengatakan bahwa ia sedang berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar panen tembakaunya bisa berhasil dan melimpah. Dia membuktikan saat panen raya tiba, hasil panen tembakaunya jauh melimpah kala itu.

Kemudian, masyarakat setempat mulai tertarik untuk belajar cara memohon dan berdoa yang baik kepada Allah. Dari situlah awal penyebaran Agama Islam di Temanggung. Salah satu tempat yang menjadi saksi sejarah penyebaran agama Islam adalah Bumi Makukuhan, sebuah kawasan yang kini berfungsi sebagai gardu pandang yang terletak di lereng Gunung Sumbing.

Asal-Usul Tembakau di Temanggung

Ki Ageng Makukuhan membawa benih tanaman tembakau ke Temanggung dan membudidayakannya di lereng Gunung Sumbing. Asal mula nama "tembakau" berawal dari Ki Ageng Makukuhan yang mengobati orang sakit dengan daun tembakau dan mengucapkan "iki tambaku", yang menjadi dasar dari nama tanaman tersebut.

Pada masa kolonial Belanda, penanaman tembakau rakyat dikembangkan di wilayah Kedu, termasuk Temanggung, di lereng gunung Sumbing, Sindoro, Merbabu, dan Prahu. Pada tahun 1940, area tembakau di Jawa Tengah mencapai 65.000 hektar, dengan lebih dari 30.000 hektar di wilayah Kedu, dan 20.000 hektar di Temanggung. Kemudian, pada tahun 1650, tembakau sudah ditanam oleh rakyat di wilayah Kedu, termasuk Temanggung, Wonosobo, Magelang, dan Bagelen. Lereng Gunung Sumbing menjadi lokasi yang sangat cocok untuk membudidayakan tembakau, terutama varietas Srinthil, yang dikenal memiliki kualitas unggul.

Tradisi dalam Penanaman hingga Pemanenan Tembakau

Budidaya tembakau di Temanggung juga diwarnai dengan tradisi, seperti lekasan (awal tanam), wiwit (awal panen), tangguk (pertengahan panen), dan kepungan (sebelum perajangan). Festival Wiwit Mbako sampai Pernikahan Tembakau biasanya diselenggarakan secara massal sebagai daya tarik budaya.

  • Lekasan: Lekasan adalah tradisi awal tanam tembakau yang dilakukan untuk memohon keberkahan dan keselamatan kepada Allah. Dalam tradisi ini, masyarakat setempat membersihkan lahan, menanam benih tembakau, dan memanjatkan doa kepada Allah.
  • Wiwitan: Tradisi ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen yang diperoleh. Dalam upacara ini, masyarakat setempat melakukan ritual seperti memotong daun tembakau pertama, memanjatkan doa syukur, dan dilanjutkan dengan prosesi adat lainnya.
  • Tangguk: Tradisi yang dilakukan pada pertengahan panen tembakau. Dalam upacara ini, masyarakat setempat melakukan ritual seperti memotong daun tembakau secara massal dan memanjatkan doa agar panen berikutnya lebih baik.
  • Kepungan: Tradisi yang dilakukan sebelum proses perajangan tembakau. Dalam upacara ini, masyarakat setempat melakukan ritual seperti membersihkan daun tembakau, memanjatkan doa, dan melakukan prosesi adat lainnya.
  • Pernikahan Tembakau Kyai Pulung Seto dan Nyai Srintil: Sekilas tradisi ini tak ubahnya resepsi pernikahan sepasang pengantin pada umumnya. Namun, dalam pernikahan tembakau, yang dikirab terdiri dari tanaman tembakau laki-laki bernama Kiai Pulung Seto dan tanaman tembakau wanita bernama Nyai Srintil. Tanaman tembakau tersebut dibawa oleh perwakilan warga laki-laki dan perempuan. Tradisi perkawinan ini adalah tradisi penutup yang dilakukan sebagai ucapan syukur atas hasil panen.

Menggali Makna Tersembunyi dari Tanaman Tembakau

  • Daun Tembakau: Berbentuk oval memanjang dan lebar, melambangkan ketekunan, kekuatan, dan ketabahan. Sama halnya para petani yang tangguh dan rela menerobos terik matahari hanya untuk merawat tembakau. Perubahan warna yang terjadi pada daun tembakau diibaratkan fase pertumbuhan manusia dari bayi hingga menjadi dewasa, tua, sampai meninggal dunia. Daun yang semula tumbuh kecil setelah itu membesar kemudian mulai layu dan menguning. Setelah menguning maka akan segera dipetik oleh para petani. Sama seperti batas kehidupan manusia yang setelah masa tuanya, ia akan dijemput oleh ajalnya dan meninggalkan dunia ini.
  • Batang Tembakau: Tanaman ini memiliki batang yang tegak dan kuat, mampu menopang berat dari daun-daun yang tumbuh. Jika diibaratkan manusia, ia akan menjadi manusia yang kokoh, tegar, dan memiliki keberanian dalam menghadapi beratnya cobaan.
  • Bunga Tembakau: Kecil dan berwarna-warni, ada yang berwarna putih dan berwarna pink, menciptakan kesan elegan. Bunga ini melambangkan keindahan dan sebuah harapan. Bunga tersebut mekar menjadi tanda awal musim panen yang baik.

Menggali Makna Tersembunyi dari Proses Pengolahan Tembakau

  • Pemrosesan Tembakau: Dimulai dari pemanenan daun tembakau tertua (daun yang paling bawah). Setelah daun paling bawah selesai dipanen, daun tersebut tidak langsung diolah melainkan harus didiamkan sekitar dua sampai tiga hari, setelah itu daun tersebut diletakkan di tempat yang lembap. Hal ini bertujuan untuk mempercantik warna daun dan memperdalam cita rasa dari tembakau tersebut. Dalam bahasa Jawa, proses ini disebut "pengimbuan". Proses ini mengajarkan agar kita bersabar, karena tidak akan ada hasil yang memuaskan tanpa proses yang melelahkan.
  • Proses Perajangan Tembakau: Apabila daun sudah menguning dengan sempurna berarti sudah waktunya untuk dirajang dan diolah. Proses perajangan ini membutuhkan ketelatenan atau ketelitian. Selain agar potongannya rapi dan halus, juga agar tangan kita tidak ikut terpotong, terkena mata pisau maupun terkena cacak (alat pemotong tembakau secara manual). Proses ini mengajarkan manusia agar selalu berhati-hati karena kita tidak akan pernah tahu, ada bahaya yang sedang mengintai kita.
  • Proses Penjemuran Tembakau: Tembakau yang telah dirajang kemudian ditata di atas rigen (sebuah papan yang terbuat dari anyaman bambu) yang kemudian diletakkan di bawah tempat yang terkena cahaya matahari. Saat sisi atas sudah mulai mengering sempurna, maka harus segera dibalik. Dari sini saya belajar bahwa ada kalanya roda takdir manusia berputar; yang di atas tidak selamanya akan berada di atas, dan yang di bawah tidak akan selamanya berada di bawah. Hikmah yang saya ambil dari sini adalah Allah akan mengangkat derajat manusia dan bisa menurunkan derajat manusia kapan saja. Oleh karena itu, kita sebagai manusia tidak sepantasnya menyombongkan jabatan kita.

Tembakau Lestari Menjadi Sumber Penghasilan Bagi Masyarakat Setempat

Dengan tanah yang subur dan iklim yang mendukung, lereng Gunung Sumbing menjadi lokasi yang sangat cocok untuk membudidayakan tembakau, terutama varietas Srinthil, yang dikenal memiliki kualitas unggul. Dari situlah, tanaman tembakau telah menjadi tulang punggung ekonomi bagi masyarakat Temanggung selama bertahun-tahun. Tembakau bukan hanya sekadar komoditas pertanian, tetapi juga sumber mata pencarian utama yang menopang kehidupan sehari-hari. Dari petani kecil hingga pedagang besar, semua terlibat dalam industri tembakau yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat.

Kesimpulan

Dalam konteks filosofi, budidaya tembakau di Temanggung dapat dilihat sebagai contoh dari konsep ontologi yang membahas keberadaan dan hakikat sesuatu. Tembakau sebagai komoditas memiliki nilai ekonomi dan budaya yang kuat, sehingga dapat dikatakan bahwa tembakau memiliki "keberadaan" yang nyata dalam kehidupan masyarakat Temanggung. Budidaya tembakau di Temanggung juga dapat dilihat sebagai contoh dari konsep etika yang membahas nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral. Masyarakat Temanggung mempertahankan proses pembuatan tembakau yang telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka memiliki "prinsip-prinsip moral" yang kuat dalam mengelola sumber daya alam.

 

Author: Latif Sonya Makbila


0 Comments


Type and hit Enter to search

Close