Author: Alfianto NugrahaFoto: dok.alfianto nugraha
BIDIKIN.COM – Namaku Alya. Usia dua puluh tiga. Dan aku sudah menunggu seseorang selama lima tahun.
Namanya Arga.
Dia datang saat aku tidak siap, tapi entah kenapa, hatiku langsung menerima. Dia baik, sopan, penuh perhatian. Jenis laki-laki yang membuatmu berpikir, “Mungkin ini orang yang akan aku nikahi.”
Tahun pertama indah. Tahun kedua mulai goyah. Tahun ketiga aku mulai menyadari bahwa banyak janji hanya berhenti jadi kata-kata.
Tapi aku bertahan.
“Cinta itu perjuangan, ya, Ly,” katanya suatu malam, setelah kami bertengkar kecil soal masa depan. “Aku cuma belum siap sekarang. Tapi kamu harus percaya, aku serius.”
Dan aku percaya. Seperti orang bodoh.
Aku mulai menghindari omongan orang tua. Mereka bilang aku terlalu menunggu. Terlalu percaya. Tapi bagaimana bisa aku menyerah pada seseorang yang dulu begitu meyakinkan?
Tahun keempat, dia mulai jarang memberi kabar. Alasannya sibuk. Pekerjaan, keluarga, kesehatan mental—aku memaklumi semua. Aku terus jadi rumah, meski dia jarang pulang.
Setiap kali aku hampir pergi, dia datang. Dengan senyum dan kalimat yang manis. Seperti tahu kapan harus menarikku kembali.
Dan aku... tetap diam. Tetap tinggal. Tetap yakin, mungkin besok dia berubah.
Tahun kelima, aku sudah tidak tahu lagi aku sedang menunggu cinta... atau luka yang tak kunjung selesai.
Temanku bertanya, “Kamu setia atau bodoh, sih?”
Aku tak menjawab. Karena aku pun tidak yakin.
Aku hanya tahu aku mencintainya.
Aku hanya tahu aku takut kehilangan.
Aku hanya tahu, dalam setiap doaku, namanya masih kusebut dengan hati yang retak.
Tapi malam ini, aku duduk di tepi ranjang sambil membaca ulang pesan terakhirnya yang berbunyi:
"Aku nggak bisa janji apa-apa, Ly. Aku masih berantakan. Aku gak mau nyakitin kamu. Tapi kalau kamu capek nunggu, aku ngerti kok."
Dan untuk pertama kalinya... aku menangis bukan karena dia tak memilihku. Tapi karena aku akhirnya memilih diriku sendiri.
Aku hapus pesannya.
Kukunci ponsel.
Kutegakkan punggung.
Mungkin... aku tidak bodoh.
Mungkin... ini bentuk cinta paling tulus: mencintai, bahkan saat harus melepaskan.
Aku bukan perempuan yang gagal menjaga.
Aku hanya perempuan yang akhirnya sadar, bahwa mencintai diri sendiri pun juga layak diperjuangkan.
Jadi jika kamu bertanya, "Alya, kamu setia atau bodoh?"
Maka aku akan jawab:
"Dulu aku setia. Tapi kini aku cukup sadar untuk berhenti jadi bodoh."
Tentang Penulis
Alfianto Nugraha adalah seorang penulis muda yang aktif mengekspresikan ide dan perasaannya melalui cerpen, puisi, dan karya sastra lainnya. Sejak SMA, ia telah mengikuti berbagai lomba menulis dan terus mengembangkan kemampuannya di bidang literasi dan psikologi. Saat ini, Alfianto juga aktif dalam promosi buku dan penulisan konten digital.
0 Comments