Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyampaikan sikap kritis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2029. BEM SI menilai bahwa keputusan tersebut merupakan kemunduran demokrasi yang membahayakan partisipasi publik dan menimbulkan potensi kekacauan konstitusional.
Koordinator Pusat BEM SI, Muzammil Ihsan, menyatakan bahwa putusan tersebut tidak menghadirkan keadilan elektoral sebagaimana semangat reformasi, tetapi justru menjauhkan rakyat dari ruang demokrasi yang substansial.
“Putusan MK ini justru berpotensi menjauhkan rakyat dari ruang demokrasi yang utuh. Bukan memperkuat sistem, tapi pemisahan ini akan memecah fokus rakyat dan memperbesar beban biaya penyelenggaraan, tanpa memperjelas keuntungan substansial bagi masyarakat,” ujar Muzammil.
MK menyatakan bahwa pemisahan jadwal pemilu bertujuan untuk meningkatkan efektivitas administrasi dan pengawasan. Namun bagi BEM SI, argumen tersebut bersifat elitis dan mengabaikan realitas sosial-politik rakyat. Pemilu yang dipisah dikhawatirkan akan menurunkan tingkat partisipasi, membingungkan pemilih, dan menggandakan beban anggaran negara.
Muzammil juga menyoroti aspek konstitusional yang terancam. Pemisahan pemilu berpotensi melanggar Pasal 22E dan Pasal 18 UUD 1945, yang menjamin pelaksanaan pemilu lima tahunan secara serentak dan demokratis.
“Jika putusan ini dijalankan, masa jabatan anggota DPRD akan berlangsung lebih dari lima tahun, yang berarti pelanggaran terhadap konstitusi. MK sudah melampaui kewenangannya dan masuk ke ranah legislasi yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah,” tegasnya.
Sementara itu, Koordinator Isu Politik dan Demokrasi BEM SI, M. Hafidz Baihaqi, menambahkan bahwa dalih MK soal kesulitan partai menyiapkan calon legislatif dan eksekutif secara bersamaan tidak berdasar secara empiris.
“Itu hanya alasan sepihak. Faktanya, selama ini partai bisa menyiapkan keduanya secara bersamaan. Justru akar persoalan bukan pada serentak atau tidaknya pemilu, melainkan pada pragmatisme elit politik serta lemahnya kaderisasi dan ideologisasi di internal partai,” jelas Hafidz.
Menurut Hafidz, problematika pemilu justru berasal dari praktik politik uang, oportunisme serta absennya keberpihakan terhadap rakyat dalam proses pencalonan. Partai politik hanya muncul saat musim pemilu, tanpa konsisten menjalankan fungsi pendidikan politik kepada rakyat.
BEM SI menegaskan bahwa demokrasi tidak bisa diukur hanya dari seberapa sering rakyat memilih, tetapi seberapa besar suara rakyat benar-benar memengaruhi arah kebijakan bangsa. Pemilu bukan ajang eksperimen elit, melainkan sarana perjuangan rakyat menuju keadilan dan kesejahteraan.
“Kami akan terus mengawal proses ini, dari jalanan hingga meja kebijakan. Jika sistem dibuat untuk menjauhkan rakyat dari haknya, maka BEM SI akan berdiri paling depan untuk menuntut keadilan,” pungkas Muzammil Ihsan.
0 Comments