Di lingkungan pendidikan tinggi, anggapan bahwa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi menjadi penentu utama kesuksesan karier telah lama tertanam kuat. Tak heran jika banyak mahasiswa rela mengorbankan waktu istirahat, pergaulan sosial, bahkan kesehatan mental demi mendapatkan nilai sempurna di transkrip akademik.
Namun, seiring dengan perubahan tuntutan industri yang semakin kompleks, muncul pertanyaan penting: apakah memiliki IPK tinggi sudah cukup untuk bersaing di dunia kerja nyata?
Mengutip laporan Forbes, tren terbaru menunjukkan semakin banyak perusahaan yang mulai mengurangi ketergantungannya pada IPK sebagai alat seleksi utama calon pegawai. Berdasarkan survei yang dilakukan National Association of Colleges and Employers (NACE), tercatat penurunan signifikan pada jumlah perusahaan yang menggunakan IPK sebagai syarat utama seleksi, dari 73% pada tahun 2018–2019 menjadi hanya 37% pada tahun 2022–2023. Angka ini memang sempat naik lagi menjadi 46,4% untuk tahun 2025, namun tren utamanya jelas: IPK bukan lagi satu-satunya indikator yang dianggap penting.
Survei tersebut juga menegaskan bahwa dunia kerja kini lebih menitikberatkan pada keterampilan praktis dan pengalaman kerja nyata ketimbang sekadar prestasi akademik. Pihak perusahaan lebih memilih kandidat yang memiliki pengalaman magang, pernah terlibat dalam proyek nyata, dan menguasai kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Beberapa kompetensi yang kini dinilai paling penting oleh dunia kerja antara lain kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan berpikir kritis, kolaborasi dalam tim, keterampilan menyelesaikan masalah, komunikasi tertulis yang baik, serta etos kerja yang kuat.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Tony Dwi Susanto, ST, MT, PhD, dosen dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dalam sebuah diskusi bersama mahasiswa. Menurut Tony, IPK memang penting sebagai indikator kemampuan akademik, namun tidak cukup menjamin keberhasilan karier seseorang. “IPK setinggi apapun tidak akan menjamin kesuksesan kalian di dunia kerja,” ujarnya, dikutip dari laman resmi ITS.
Ia mengungkapkan, masih banyak lulusan perguruan tinggi yang meskipun memiliki IPK tinggi, ternyata belum memiliki keahlian yang benar-benar dibutuhkan pasar kerja. Akibatnya, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai atau bahkan menganggur.
Tony pun menekankan pentingnya mahasiswa untuk memanfaatkan waktu selama kuliah tidak hanya untuk mengejar nilai, tetapi juga memperkaya diri dengan berbagai keterampilan, pengetahuan praktis, dan pengalaman kerja. “Mahasiswa perlu mengasah potensi mereka dan aktif membangun kompetensi diri agar bisa bersaing di dunia profesional,” tambahnya.
Realitas saat ini menuntut mahasiswa untuk memiliki lebih dari sekadar prestasi akademik. Dunia kerja menilai calon karyawan berdasarkan kombinasi antara pengetahuan teoretis dan kemampuan praktis. Oleh karena itu, membangun portofolio pengalaman, memperluas jaringan, dan terus mengembangkan soft skill menjadi langkah penting untuk menghadapi persaingan karier masa kini.
Author: Nahri Fatma Royyani
0 Comments