Terkini

BUDAYA YANG MENARI TANPA KATA

Dalam beberapa minggu terakhir, dunia maya Indonesia bahkan global diramaikan oleh sebuah fenomena unik yang disebut "Aura Farming".Istilah ini pertama kali mencuat setelah sebuah video pendek memperlihatkan aksi seorang anak lelaki asal Riau, Rayyan Arkan Dikha, menari di atas perahu tradisional Pacu Jalur. Tidak ada promosi besar-besaran, tidak ada strategi pemasaran atau influencer endorsement seperti yang lazimnya memicu viralitas. Namun, justru dari kesederhanaan itu, muncul daya tarik luar biasa yang menarik jutaan pasang mata di seluruh dunia.

Rayyan, yang baru berusia 11 tahun, berperan sebagai ‘Togak Luan’, penari yang berdiri di ujung depan perahu dalam lomba balap tradisional khas Kuantan Singingi. Ia tampil mengenakan pakaian hitam khas Melayu Teluk Belanga dan kacamata hitam, dengan gerakan tangan yang sederhana namun penuh makna. Meski hanya berdiri dan menari pelan, ekspresinya yang tenang dan penuh wibawa memancarkan kekuatan yang sulit dijelaskan. Dalam konteks budaya modern yang serba cepat dan keras, ketenangan Rayyan justru terasa kontras dan memikat.

Momentum tersebut terjadi saat Festival Pacu Jalur, acara tahunan yang digelar untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Video Rayyan yang terekam secara spontan kemudian tersebar luas dan mendapat julukan “The Reaper”, karena wibawanya dianggap tak terkalahkan. Namun yang lebih mengejutkan, fenomena ini tidak berhenti di lingkup lokal. Banyak figur internasional seperti pemain NFL pembalap F1 Alex Albon, bahkan idola K-Pop dan pemain sepak bola dari Paris Saint-Germain ikut menirukan gerakan Rayyan dalam unggahan mereka. Artinya, ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar tarian atau gaya. Terdapat aura, energi, dan keaslian yang mampu menyentuh dan menarik perhatian masyarakat global.

Hal ini tentu menghadirkan kontras yang mencolok dibanding tren-tren viral lain seperti Velocity, yang seringkali hanya menawarkan visual cepat tanpa konteks budaya yang berarti. Banyak anak muda saat ini bangga mengikuti gaya Velocity hanya karena pernah digunakan oleh idol K-Pop, meskipun isinya minim pesan. Sebaliknya, Aura Farming bukan sekadar konten viral, melainkan sebagai bentuk ekspresi budaya lokal yang dikemas otentik tanpa kehilangan jati diri. Poin penting yang membedakan adalah bukan siapa yang mengikuti, tetapi apa nilai yang dibawa. 

Istilah ‘Aura Farming’ sendiri digunakan untuk menggambarkan energi positif dan karisma yang terpancar dari seseorang secara alami. Dalam kasus Rayyan, aura itu berasal dari ketulusan menampilkan budaya, bukan dari niat mencari sensasi. Di tengah kepungan konten digital yang serba cepat, keras, dan artifisial, konten seperti inilah yang justru berhasil menenangkan dan memikat dunia. Kita tidak sedang menyaksikan seorang anak menari, namun kita sedang menyaksikan kemajuan budaya lokal Indonesia yang dibalut dengan sedikit gaya modern.

Tentu saja trend Pacu Jalur ini dampaknya tidak berhenti pada viralitas. Pemerintah Provinsi Riau dengan cepat merespons momen ini dengan menunjuk Rayyan sebagai Duta Wisata serta memberinya beasiswa pendidikan, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya dalam mempromosikan budaya Indonesia ke ranah internasional. Namun, pelajaran terpenting dari kisah ini bukan pada pengakuan yang ia dapat, melainkan pada nilai yang bisa kita ambil. Budaya lokal, jika ditampilkan secara otentik dan penuh percaya diri, memiliki kekuatan untuk berdiri sejajar bahkan lebih unggul dari budaya global.

Fenomena Rayyan dan Aura Farming harus menjadi titik balik bagi cara kita memandang budaya kita sendiri. Selama ini, terlalu banyak energi yang dihabiskan untuk mengikuti tren luar, hingga lupa bahwa kita pun punya warisan yang tak kalah memikat. Apa yang dilakukan Rayyan bukanlah hal baru, ia hanya menjadi jembatan yang menyampaikan budaya lama ke medium baru yang lebih berwarna. 

Trend Aura Farming bukan hanya sekedar gaya atau tampilan. Ia adalah tentang bagaimana keaslian, ketenangan, dan keyakinan terhadap budaya sendiri bisa menjadi kekuatan yang melampaui algoritma. Jika seorang anak 11 tahun bisa membuat dunia melihat budaya Riau melalui satu video sederhana, lalu apa alasan kita untuk tidak mulai mencintai dan mengangkat budaya kita sendiri?

Author : Rahma Aurellia Zahra

0 Comments


Type and hit Enter to search

Close