Terkini

Kuliah Mahal Gaji Murah Apakah Pendidikan Masih Jadi Jalan Sukses

Pendidikan tinggi sejak lama diyakini sebagai jalan utama menuju kesuksesan. Orang tua rela menabung bertahun-tahun, bahkan berutang, demi memastikan anaknya bisa kuliah. Di sisi lain, mahasiswa pun berjuang keras agar bisa meraih selembar ijazah yang dianggap sebagai tiket masuk ke dunia kerja. Namun realitas yang dihadapi banyak lulusan kini justru jauh dari harapan. Biaya kuliah semakin melambung, sementara gaji pertama yang diterima lulusan baru sering kali tidak sebanding dengan investasi besar yang telah mereka keluarkan. Pertanyaan yang kemudian muncul: masihkah pendidikan tinggi menjadi jalan sukses bagi generasi muda?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata biaya pendidikan tinggi di Indonesia meningkat sekitar 10 persen setiap tahunnya. Di beberapa perguruan tinggi negeri favorit, Uang Kuliah Tunggal (UKT) bisa mencapai belasan juta rupiah per semester. Jika ditotal selama empat tahun masa studi, biaya kuliah bisa menembus ratusan juta rupiah, belum termasuk biaya kos, buku, transportasi, dan kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi keluarga menengah ke bawah, beasiswa seperti KIP Kuliah memang menjadi penyelamat, namun jumlah penerimanya sangat terbatas. Di luar itu, tak sedikit mahasiswa yang terpaksa menempuh jalur pinjaman pendidikan yang akhirnya menimbulkan beban finansial baru setelah lulus.

Ironisnya, investasi besar tersebut kerap berbuah pahit. Riset JobStreet pada 2024 mengungkapkan rata-rata gaji lulusan baru di Indonesia hanya berada pada kisaran Rp4 juta hingga Rp5 juta per bulan. Di sejumlah sektor bahkan lebih rendah. Bila dibandingkan dengan biaya kuliah yang bisa mencapai ratusan juta rupiah, jelas ada ketimpangan besar antara modal yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Fenomena ini melahirkan istilah overeducation and underemployment, yaitu situasi di mana seseorang memiliki pendidikan tinggi tetapi hanya mendapatkan pekerjaan dengan upah rendah atau jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya.

Ada beberapa alasan mengapa pendidikan tinggi tidak lagi otomatis menjamin kesuksesan. Pertama, kurikulum di banyak kampus belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan industri. Lulusan menguasai teori, tetapi kerap minim pengalaman praktis. Kedua, jumlah lulusan universitas yang meningkat setiap tahun tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja formal, sehingga kompetisi semakin ketat. Ketiga, perubahan ekonomi digital menuntut keterampilan baru seperti analisis data, coding, desain kreatif, hingga pemasaran digital—skill yang belum diajarkan secara optimal di banyak perguruan tinggi. Selain itu, faktor jaringan sosial, privilege keluarga, dan koneksi personal masih memainkan peran besar dalam menentukan peluang kerja.

Paradigma pun mulai bergeser. Anak muda kini menyadari bahwa gelar akademik bukan satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Laporan LinkedIn 2023 menunjukkan bahwa perusahaan teknologi besar seperti Google dan Apple mulai membuka lowongan yang tidak mensyaratkan ijazah, melainkan mengutamakan keterampilan nyata. Di Indonesia, tren serupa juga muncul di beberapa startup unicorn yang lebih fokus pada kemampuan kandidat, bukan sekadar gelar. Hal ini membuat jalur alternatif seperti kursus daring, bootcamp, dan pembelajaran otodidak semakin diminati karena biayanya jauh lebih murah dibanding kuliah formal.

Namun demikian, penting untuk menegaskan bahwa pendidikan tinggi tidak kehilangan relevansi sepenuhnya. Kampus masih memiliki peran vital dalam membentuk pola pikir kritis, kemampuan riset, dan jaringan sosial yang dapat menjadi modal penting di masa depan. Masalah utamanya bukan pada konsep pendidikan itu sendiri, melainkan biaya yang kian tinggi dan hasil yang tidak selalu sebanding dengan pengorbanan. Oleh karena itu, yang perlu diubah adalah cara pandang bahwa kuliah adalah satu-satunya jalan sukses. Pendidikan formal seharusnya dilihat sebagai salah satu opsi, bukan kewajiban mutlak.

Solusi atas persoalan ini perlu melibatkan berbagai pihak. Perguruan tinggi harus melakukan reformasi kurikulum agar lebih adaptif terhadap kebutuhan industri serta memperluas kerja sama dengan dunia usaha sehingga mahasiswa mendapatkan pengalaman praktis sejak dini. Pemerintah juga dituntut memperluas akses beasiswa dan mengendalikan biaya kuliah agar tidak membebani keluarga berpenghasilan rendah. Di sisi lain, anak muda harus lebih aktif mengembangkan keterampilan tambahan melalui kursus, magang, maupun proyek pribadi yang relevan dengan bidang mereka. Perusahaan pun diharapkan lebih adil dalam menilai karyawan berdasarkan kemampuan dan kinerja, bukan sekadar latar belakang sosial atau koneksi.

Pada akhirnya, fenomena kuliah mahal dan gaji murah mencerminkan ketidakselarasan antara dunia pendidikan dengan realitas kerja. Generasi muda perlu realistis sekaligus kritis dalam menilai apakah biaya yang mereka keluarkan untuk kuliah sepadan dengan hasil yang diperoleh. Bagi sebagian orang, kuliah tetap menjadi fondasi penting, sementara bagi yang lain kesuksesan bisa ditempuh melalui jalur alternatif. Yang jelas, masa depan anak muda tidak boleh hanya ditentukan oleh selembar ijazah, melainkan oleh kemampuan nyata, kreativitas, dan daya saing mereka di tengah perubahan zaman yang semakin cepat.

Author: Agus Nur Mahdi

0 Comments


Type and hit Enter to search

Close