Terkini

Negeri Konoha di Bawah Bayang Pajak

Di lembah tersembunyi, terhampar Negeri Konoha penuh pepohonan yang daunnya berubah keemasan di musim gugur. Kabut pagi menari lembut, menyelimuti atap kayu penduduk seolah melindungi rahasia zaman dahulu. Burung-burung bersahut-sahutan, menambah harmoni alam yang telah bertahan turun-temurun. Dahulu, kerajaan itu dipuji karena keadilan dan kemakmuran yang dijaga dengan penuh kesungguhan. Namun kini bayangan kelam mulai merambat, mengikis benih harapan yang pernah mekar.

Raja Haru, penguasa bijak yang disegani, dulu memungut pajak demi kemaslahatan rakyatnya. Lewat emas pajak, dibangun sekolah, sumur di desa terpencil, juga jalan setapak ke pasar. Warga merasakan manfaatnya: anak-anak belajar menulis di balai desa setiap sore. Namun seiring berjalannya waktu, angka yang diminta berubah menjadi beban tak tertahankan. Petani kecil menjerit di ladang, menyaksikan hasil panen setengahnya harus diserahkan kepada istana.

Di gedung megah Istana Daun Raksasa, para pejabat mengumpulkan laporan pajak setiap bulan. Jam kerja mereka bagai upacara bisu: rapat di aula, menandatangani berkas dengan tinta emas. Gaji mereka tumbuh bak tunas musim semi, naik setiap satu musim berganti tanpa penjelasan transparan. Sementara di desa, ibu-ibu menabung serpihan beras demi membayar tambahan “biaya administrasi.” Anak-anak sering tidur kelaparan karena padi pun tak cukup untuk dimakan.

Pada suatu senja, ketika daun-daun berguguran di sungai kecil, kabar duka menyeruak. Joko, petani tegar dari Dusun Bambu, tak mampu memenuhi permintaan pajak baru. Ia rela meminjam pada rentenir licin, demi menghindari ancaman terekam dalam catatan hitam istana. Gadis kecilnya menangis di pelukan ibu saat lelaki tua itu bersimpuh memohon belas kasihan. Tetapi belas kasihan tidak terdengar di lorong marmer Istana Daun Raksasa.

Pajak-pajak baru diberlakukan: pajak pintu, pajak kandang, pajak panen, pajak cahaya matahari. Setiap hal sederhana diperlakukan bak kekayaan istimewa yang harus dibagi tentangnya. Nelayan di pesisir memungut ikan setengah perahu untuk kerajaan. Tukang anyaman bambu di sudut desa harus melelang tenunannya demi membayar tarif jalan. Kesengsaraan merambat seperti rantai yang menjerat leher penduduk.

Pejabat-pejabat berpesta di aula perjamuan, mencicipi makanan lezat, meneguk anggur mutiara, tanpa sedikitpun peduli kepedihan rakyat di bawah. Cahaya lampu kristal memantul di wajah mereka, memproyeksikan bayangan kesombongan. Tawa bergema hingga lorong istana, menutupi erangan derita di balik dinding kayu. Mereka bicara santai tentang peningkatan gaji berikutnya, sambil menandatangani perjanjian baru tanpa rasa bersalah. Sementara gaung protes hanya sekadar lirikan terpencil para pelayan tak berdaya.

Di sudut desa, anak-anak menolak tugas belajar agar bisa membantu orang tua menambal atap bocor. Gadis kecil Maya menjahit daun-daun besar menjadi payung darurat, meredam rintik hujan deras yang merobek genting usang. Tangan kecilnya kelelahan, namun semangatnya pantang padam. Ia bermimpi suatu hari negeri itu bebas dari cengkeraman pajak tak berujung. Namun untuk saat ini, gajahlah ibunya seorang penganyam yang semakin menipis.

Elder desa, Kakek Subur, berkumpul di bawah pohon Tua Pengetahuan setiap sore. Warga menanti wejangan dan harapan yang ia bagi dengan sabar. Kakek Subur membuka lembaran catatan kuno, menceritakan kisah revolusi kecil yang pernah menggoncang Kerajaan Nusantara. Ia menyimpan resep sederhana: persatuan, keberanian, dan kecerdikan. Mata penduduk menyala, merasakan benih harapan baru tumbuh.

Di tengah kegelisahan, seorang pemuda bernama Arjuna melangkah maju. Ia anak yatim piatu, dibesarkan ibunya di Desa Bambu. Sepanjang hari ia bertani padi, sore harinya membaca naskah kuno tentang demokrasi dan keadilan. Arjuna menelan ludah saat mendengar kisah Kakek Subur: “Jika akal bersatu, tirani bisa digoyang,” katanya. Semangatnya membara, tapi ia tahu jalan keadilan bukanlah tanpa risiko.

Pada malam purnama, Arjuna mengumpulkan sejumlah rekan di balai desa yang telah lapuk. Mereka duduk berdesakan, perut kosong, namun jiwa penuh tekad. Arjuna berbicara lantang: “Kita tak bisa diam, sementara upah kita habis untuk pajak tak jelas. Kita butuh suara, kita butuh aksi, kita butuh keberanian.” Desahan setuju bergema, tangan terangkat menandakan tekad bulat. Aroma lilin menari, membimbing harapan mereka menyusup ke dalam kegelapan malam.

Rencana pun disusun: besok pagi, sebelum matahari meneteskan cahaya, beberapa petani akan mendatangi kantor pajak desa menuntut transparansi. Tukang kayu membuat plang bertuliskan “Catatan Pajak Terbuka untuk Umum.” Para wanita menyiapkan daun kilang agar tulisan terlihat jelas. Arjuna dan kawan-kawan menggenggam unjuk rasa damai, tanpa senjata—hanya kertas, pena, dan semangat pembebasan. Hati mereka bergetar, menyadari betapa gentingnya misi ini.

Fajar membuka mata Negeri Konoha dengan semburat jingga. Petugas pajak desa terkejut melihat tumpukan kertas di depan pintu kantor. Warga berkumpul, membaca angka-angka, menuntut penjelasan. Cayu, petugas tua yang bingung, kalah oleh gelombang rasa keingintahuan rakyatnya sendiri. Massa menanti jawaban, sementara gema ketidakpuasan mulai mengguncang tembok kayu dan batu bata.

Timbul ketegangan saat Kepala Pajak, Sembara, muncul di hadapan kerumunan. Ia mengenakan jubah berhiaskan daun emas, wajahnya bangga dan datar terkunci. “Apa tujuan kalian?” suaranya bergema dingin. Arjuna melangkah maju: “Kami hanya ingin tahu ke mana emas kami mengalir. Kami pantas mendapat kepastian.” Desakan serempak memaksa Sembara menunduk sesaat, lalu ia berjanji meneliti catatan dan membuka pintu istana demi klarifikasi.

Namun janji kosong begitu mudah diucap tanpa ikatan hukum. Hanya dalam hitungan hari, catatan itu lenyap dari arsip kantor. Surat perintah baru datang: rakyat harus membayar denda karena “kerusuhan tidak sah.” Pajak bertambah dua kali lipat, ancaman hukuman berat menghantui siapa pun yang menentang. Langit seakan tertutup awan kelabu, menandakan badai kebijakan semena-mena yang akan datang.

Rasa takut merayap di jalanan desa. Tetangga saling berbisik saat lewat gerbang bambu. Bahkan Kakek Subur menunduk tak berani keluar rumah. Arjuna berjuang menahan gelombang keputusasaan. Di matanya bersinar pertanyaan: apakah perlawanan damai cukup menghadapi senjata ketakutan dan ancaman?

Namun semangat juang tak mudah padam. Warga mulai menyusupkan kertas kecil berisi puisi protes ke dalam kantong jubah pejabat. Beberapa nelayan melempar karung berisi cat merah ke gerbang istana, menandai simbol pemberontakan artistik. Seniman desa menuliskan syair di dinding mati, menumpahkan kritik dinasti pajak. Aksi kreatif itu menyebar cepat, membakar bara solidaritas lebih hebat daripada ketakutan.

Puncaknya, pada malam gerhana bulan, penduduk mengadakan rapat rahasia di gua bawah bukit. Sembari mendengarkan gema air terjun, mereka merancang langkah terakhir. “Kita bakar salinan perjanjian pajak yang tak adil itu,” kata Maya sambil memegang obor. “Lalu kita kirimkan abu dan arang ke istana sebagai bukti penolakan.” Orang-orang bertepuk tangan pelan, menyadari simbol ini bisa menggetarkan hati sesepuh kerajaan.

Ketika gerhana menutupi rembulan, Arjuna memimpin aksi. Ratusan penduduk berkumpul di lapangan tengah desa, membawa tumpukan kertas dan kayu kering. Obor menyala di tangan, seolah menyalakan bara pemberontakan dalam dada mereka. Dengan lantang mereka berseru, “Pajak Adil untuk Semua!” Api kecil berubah kobaran, memakan sumpah hitam di atas kertas. Asap mengepul tinggi, mencapai langit, menembus awan gelap yang tak bersuara.

Keesokan paginya, kabar bakar perjanjian menyebar cepat ke istana. Raja Haru menerima laporan dengan alis berkerut, namun matanya menampilkan kilat kecemasan. Dewan pejabat dikejutkan oleh gelombang solidaritas yang tak terduga. Dia sadar, rakyat yang dulu tenang kini bangkit dengan intelek, kreativitas, dan keberanian. Angin perubahan berhembus dari lembah menuju menara tinggi.

Dalam sidang besar Istana Daun Raksasa, Raja Haru akhirnya turun tangan. Ia berdiri di atas mimbar tinggi, menyaksikan wajah warganya—lelaki berlengan keriput, perempuan muda penuh harap, anak-anak memegang bunga liar. Dengan suara bergetar, ia berjanji merombak sistem pajak, meninjau ulang gaji pejabat, dan membentuk dewan wakil rakyat. Air mata kelegaan mengalir di pipi penduduk Desa Bambu dan sekitarnya.

Meski perjalanan keadilan masih panjang, langkah pertama telah tercipta. Pohon harapan kembali menancapkan akar di tanah Konoha yang dulu gersang. Rakyat merayakan malam kemenangan kecil dengan lentera berwarna-warni. Lagu-lagu merdu terdengar di tiap jengkal desa. Negeri Konoha belajar satu hal: ketika suara rakyat bersatu, bahkan istana tertinggi pun dapat digoyah.

Dan di bawah langit senja yang sama, para petani kembali menanam padi dengan penuh keyakinan. Anak-anak bebas tertawa sambil menulis di buku baru. Para pejabat kini menimbang setiap pundi emas dengan hati-hati. Negeri dongeng ini mengingatkan kita bahwa keadilan bukanlah hadiah turun dari tahta, melainkan panen hasil kerja dan tekad bersama. Kini Konoha, meski rapuh, berdegup dengan janji masa depan yang lebih adil.

Penulis: Syahriel Andika

0 Comments


Type and hit Enter to search

Close