Setiap 17 Agustus, tawa riuh dan sorak-sorai selalu mengiringi perlombaan panjat pinang di berbagai pelosok negeri. Bagi sebagian masyarakat, permainan tradisional ini hanya dipandang sebagai hiburan semata untuk memeriahkan HUT RI. Namun, tahukah kita bahwa di balik tiang pinang yang licin dan penuh minyak dan berjuang keras memanjat tiang yang licin, disitulah terpancar filosofi mendalam tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia?
Panjat pinang ternyata bukan tradisi modern belaka. Dalam buku “Indonesia Poenja Tjerita”, permainan ini telah ada sejak zaman kolonial Belanda sebagai hiburan dalam acara-acara besar penjajah. Namun, bagi masyarakat pribumi, permainan ini menjadi bentuk perlawanan simbolis yang halus. Di situlah terpancar semangat pantang menyerah yang menjadi jiwa perlawanan terhadap kolonialisme. Setiap kegagalan yang tidak membuat mereka putus asa, sebenarnya adalah representasi dari tekad bangsa yang tidak akan pernah menyerah pada penjajahan.
Dalam perlombaan panjat pinang, peserta harus memanjat tiang licin untuk meraih hadiah dipuncaknya. Proses ini tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga ketahanan mental dan solidaritas emosional. Sebagaimana ditulis Mulya dalam buku digital Kemendikbud “Semua kekuatan pikiran, perasaan, kebersamaan, dan daya tahan bersatu padu. Begitulah kemerdekaan Indonesia diperjuangkan.” Kutipan ini sebagai metafora perjuangan bangsa yang membutuhkan sinergi untuk mencapai tujuan mulia.
Tidak mengherankan jika setiap kali menyaksikan peserta saling menopang dan memanjat bahu temannya, kita seolah diajak mengenang kembali semangat 1945 ketika seluruh bangsa bersatu melawan penjajah. Permainan ini menjadi cermin bagaimana individu yang berbeda latar belakang dapat bersatu untuk mencapai tujuan bersama.
Inilah keistimewaan sejati panjat pinang: sebuah permainan yang mustahil dimenangkan secara individual. Diperlukan 5 hingga 10 orang bekerja sama dengan strategi yang matang untuk meraih kemenangan. Mereka yang berada di bawah dengan rela mengorbankan bahunya sebagai pijakan—pengorbanan yang mencerminkan nilai luhur bangsa. Ketika hadiah berhasil diraih, sorak kemenangan itu bukan hanya milik si pemanjat terakhir saja, melainkan milik seluruh tim yang telah berjuang bersama. Bukankah potret ini sempurna menggambarkan jati diri Indonesia yang sesungguhnya?
Semangat ini sejalan dengan pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Nilai-nilai inilah yang secara simbolis tercermin dalam setiap gerakan kolektif peserta panjat pinang.
Sayangnya, di era digital ini nilai-nilai luhur tersebut mulai terkikis. Survei APJII 2023 menunjukkan 89,3% generasi muda Indonesia lebih memilih aktivitas digital ketimbang permainan tradisional. Hadiah di puncak pinang yang dahulu berharga—seperti sembako—kini dipandang sebelah mata dibanding imbalan instan dalam budaya "cash reward" dan "giveaway" media sosial. Ironi ini menunjukkan betapa mendesak upaya kita mengembalikan apresiasi terhadap nilai-nilai kolektivitas yang terkandung dalam tradisi leluhur.
Yang lebih mengkhawatirkan, makna perjuangan di balik tradisi ini perlahan mulai terlupakan. Padahal, di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi ini, kita justru membutuhkan pelajaran dari panjat pinang tentang bagaimana tetap mempertahankan solidaritas sebagai satu kesatuan meskipun berbeda-beda.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali menghidupkan makna sejati panjat pinang! Mari lestarikan tradisi ini dengan menceritakan filosofi mendalam dibaliknya kepada generasi muda. Panjat pinang bukanlah sekadar perlombaan tahunan. Lebih dari itu, permainan ini adalah cermin jiwa bangsa yang pantang menyerah, gemar bergotong-royong, dan penuh semangat. Dengan memahami makna di balik panjat pinang, kita dapat lebih menghargai kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pahlawan.
Author: Nadiva Ismi Wardani
0 Comments