Perempuan masih menghadapi beban ganda: bekerja di luar rumah untuk mendukung ekonomi, sekaligus tetap dituntut menyelesaikan pekerjaan rumah dan pengasuhan anak tanpa pembagian peran yang adil. Banyak ibu bekerja di kota besar, lalu pulang larut setelah seharian di kantor namun tetap harus menyiapkan makan malam dan mendampingi anak belajar. Beban rangkap ini tidak jarang berujung pada kelelahan fisik dan tekanan mental pada perempuan.
Padahal, prinsip kesetaraan sudah dijamin secara hukum. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 5, menegaskan “Setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Artinya, perempuan memiliki hak penuh untuk berkarier tanpa harus dibayangi stigma masyarakat. Kesetaraan bukan berarti menyaingi laki-laki, melainkan membagi peran secara adil dan saling menopang. Dalam praktiknya, pembagian peran yang adil ini belum sepenuhnya berjalan. Masih banyak rumah tangga yang menempatkan perempuan sebagai pihak utama dalam urusan rumah, meski sama-sama bekerja di luar rumah.
Sejarah membuktikan, perempuan mampu menjadi pemimpin dan pelopor. Tokoh seperti Cut Nyak Dien dan RA Kartini menunjukkan bahwa peran perempuan jauh melampaui urusan rumah tangga saja. Mereka adalah simbol bahwa perempuan dapat berdiri sejajar sebagai individu yang berkontribusi nyata bagi bangsa. Namun sayangnya, dalam realitas modern, prestasi perempuan sering tereduksi oleh peran rumah tangga, seakan-akan pencapaian mereka berakhir “di dapur”.
Selain itu, tantangan mengenai stigma sosial menempatkan perempuan hanya sebagai pendamping, bukan individu dengan mimpi dan cita-cita. Perempuan karier kerap dianggap mengabaikan keluarga, sementara laki-laki sibuk bekerja justru dianggap wajar. Dunia kerja pun belum sepenuhnya ramah, cuti hamil sering dipandang sebagai risiko, promosi terhambat oleh bias gender, dan fleksibilitas jam kerja masih minim. Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat, diskriminasi terhadap perempuan pekerja tetap tinggi, terutama terkait hak cuti dan perlakuan berbeda bagi perempuan hamil. Akibatnya, banyak perempuan harus mengurangi ambisi karier atau bahkan berhenti bekerja setelah menikah atau memiliki anak.
Beban ini diperkuat oleh standar ganda masyarakat. Seorang ibu yang tidak bisa selalu hadir untuk anaknya segera dicap “ibu yang buruk”, sedangkan ayah yang sibuk bekerja jarang mendapat penilaian serupa. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang membuat perempuan merasa bersalah, meskipun mereka sesungguhnya sedang berusaha memenuhi dua peran sekaligus. Tekanan semacam ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga bisa berdampak pada tumbuh kembang anak dan kesehatan keluarga secara keseluruhan.
Maka, yang dibutuhkan bukan belas kasihan, melainkan perubahan sistem. Rumah tangga harus menjadi ruang berbagi peran, bukan hanya beban satu pihak. Dunia kerja perlu menyediakan kebijakan ramah keluarga seperti fleksibilitas waktu, ruang laktasi, cuti hamil yang dijamin, hingga program kembali bekerja bagi ibu setelah melahirkan. Negara pun harus hadir lebih tegas melalui regulasi yang berpihak pada keadilan gender, tidak hanya pada tataran aturan, tetapi juga pengawasan yang konsisten di lapangan.
Kesetaraan peran bagi perempuan bukan hanya soal kesempatan bekerja, tetapi juga bagaimana rumah tangga, dunia kerja, dan masyarakat memberi ruang yang adil. Dengan pembagian peran yang seimbang, kebijakan yang mendukung, serta budaya yang lebih menghargai, perempuan dapat menjalani karier dan keluarga tanpa harus terbebani standar ganda. Kesadaran kolektif inilah yang akan menentukan apakah beban ganda akan terus diwariskan, atau akhirnya digantikan oleh sistem yang lebih manusiawi.
Author : Nafidza Sadrina
0 Comments