Author: Said Adji FaturrahmanFoto: dok. Said Adji Faturrahman
BIDIKIN.COM – Katanya manusia itu makhluk sosial. Katanya, nggak bisa hidup sendirian. Tapi aneh ya, banyak hubungan yang terasa lebih sunyi daripada kesepian itu sendiri.
Kita dikelilingi orang, saling menyapa, saling tertawa, saling berbagi cerita. Tapi pernah nggak sih, merasa sendirian bahkan saat berada di tengah keramaian? Itulah lucunya. Nggak semua yang dekat itu benar-benar hadir. Nggak semua yang mengaku teman itu ngerti arti jadi teman.
Kita hidup dalam zaman yang aneh. Di mana status "teman" bisa didapat cuma karena pernah nongkrong bareng dua kali, atau follow-followan di Instagram. Di mana kata "peduli" bisa diketik dengan emot sedih, tapi lupa ditunjukkan dalam tindakan nyata. Semua terasa dangkal. Hubungan pun ikut jadi transaksional. Ada maunya—baru cari kabar. Ada butuhnya—baru jadi akrab.
Lucunya, saat kita lelah dan mulai menarik diri, justru kita yang dibilang berubah. Dibilang sombong. Padahal, selama ini mereka hadir bukan untuk benar-benar mengenal, tapi untuk memastikan kita tetap berperan: jadi pendengar, jadi penghibur, jadi tempat curhat gratis. Sementara giliran kita butuh tempat bersandar, jawabannya singkat: “Sabar aja, ya.”
Oh, iya. Jangan lupa juga tipe yang hobinya ngatur. Sedikit-sedikit nyuruh ini, nyuruh itu. Kalau ditolak? Baper. Kalau kita punya batasan? Dibilang ribet. Kalau kita nggak nurut? Dicap temen yang berubah. Mungkin mereka pikir kita ini robot yang siap sedia 24/7 demi menjaga mood mereka yang sensitif.
Padahal, bukan kita nggak mau hadir. Bukan juga nggak mau jadi teman yang baik. Tapi, apa iya harus terus-menerus mengorbankan kenyamanan sendiri demi menjaga hubungan yang bahkan nggak sehat dari awalnya?
Menjauh itu bukan bentuk kebencian. Menjauh itu kadang bentuk cinta terhadap diri sendiri. Karena kalau terus bertahan dalam hubungan yang timpang, lama-lama kita lupa caranya bahagia.
Jadi, tenang. Aku bukan menghilang, apalagi mendendam. Aku cuma sadar satu hal: mereka nggak pernah benar-benar dekat, jadi kenapa harus repot-repot tetap menggenggam?
0 Comments