Sistem pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang menyebabkan ketertinggalan dalam proses pembelajaran dan kesiapan siswa menghadapi tantangan global. Analisis mendalam diperlukan untuk mengidentifikasi akar masalah dan merumuskan perbaikan yang efektif. Berikut adalah beberapa faktor utama yang berkontribusi pada kondisi ini:
1. Perubahan Kurikulum yang Terus-Menerus
Pemerintah sering mengganti kurikulum pendidikan, menyebabkan kebingungan dan kesulitan adaptasi bagi guru dan siswa. Sejak Kurikulum 1968 yang fokus pada watak dan kepribadian, hingga Kurikulum Merdeka (2022) yang lebih fleksibel, perubahan ini seringkali kurang disertai persiapan matang dan evaluasi menyeluruh. Akibatnya, fokus seringkali bergeser dari pengembangan esensial menjadi penyesuaian administratif.
2. Kualitas Guru yang Belum Merata
Kualitas guru menjadi salah satu pilar utama keberhasilan pendidikan. Di Indonesia, masih banyak guru yang belum memenuhi standar kualifikasi atau kemampuan mengajar yang memadai. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
Faktor Internal:
Zona Nyaman & Kurangnya Motivasi: Sebagian guru enggan berinovasi atau meningkatkan diri karena sudah merasa nyaman atau kurang termotivasi.
Kurang Bisa Beradaptasi dengan Perkembangan Zaman: Kurangnya upaya untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan dengan dinamika zaman.
Faktor Eksternal:
Kurangnya Pelatihan dan Pengembangan: Akses terhadap pelatihan dan pengembangan profesional yang berkualitas masih terbatas.
Keterbatasan Sumber Daya: Kurangnya akses terhadap fasilitas dan sumber daya yang mendukung peningkatan kualitas guru.
Perubahan Kurikulum dan Teknologi: Kesulitan guru dalam beradaptasi dengan kurikulum dan teknologi pembelajaran yang terus berkembang.
Faktor Sistemik:
Sistem Pendidikan yang Kurang Mendukung: Sistem yang belum sepenuhnya mendukung pengembangan profesional guru.
Kurangnya Dukungan Pimpinan Sekolah: Minimnya dukungan dari pimpinan sekolah untuk inisiatif pengembangan guru.
Selain itu, ada kecenderungan beberapa guru yang lebih fokus pada popularitas di media sosial daripada pengembangan metode pembelajaran yang efektif, yang berdampak langsung pada kualitas pendidikan.
3. Ketimpangan Teknologi dan Akses Pendidikan
Ketimpangan teknologi memperlebar kesenjangan digital dalam pendidikan Indonesia:
Keterbatasan Akses: Banyak sekolah, terutama di daerah pedalaman, minim akses teknologi memadai seperti internet, perangkat keras, atau listrik. Hal ini menghambat pemanfaatan teknologi untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kesenjangan Digital: Perbedaan akses teknologi menciptakan kesenjangan digital antara siswa, memengaruhi kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan berkualitas dan bersaing di era digital.
Sistem pendidikan Indonesia masih cenderung mengutamakan hafalan daripada pemahaman mendalam dan penalaran. Hal ini mendorong siswa untuk mengejar hasil instan tanpa memahami makna atau asal-usul suatu konsep. Dampaknya, kemampuan berpikir kritis dan logis siswa kurang terasah.
Data World Population Review (2024) menempatkan Indonesia pada posisi 129 dengan skor rata-rata IQ 93,18 dari 1.352.763 orang yang diuji. Ini jauh di bawah negara-negara dengan sistem pendidikan yang mendorong pemikiran analitis seperti Tiongkok (107,19), Korea Selatan (106,43), dan Jepang (106,40). Pola hafalan ini disinyalir menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada rendahnya skor IQ tersebut, karena otak lebih terlatih untuk meniru daripada menyusun argumen dan gagasan orisinal.
5. Pengaruh Media Sosial pada Siswa
Siswa saat ini cenderung menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial daripada fokus pada pembelajaran. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan akademis, konsentrasi, dan minat mereka terhadap materi pelajaran.
6. Sistem Feodalisme dalam Dunia Pendidikan
Meskipun tidak secara eksplisit diakui, adanya sistem yang menciptakan hierarki dan ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, kesempatan, dan sumber daya dapat menghambat mobilitas sosial dan pemerataan kualitas pendidikan. Ini bisa berbentuk preferensi tertentu, akses terbatas bagi kelompok tertentu, atau pemusatan kekuasaan yang menghambat inovasi.
7. Perubahan Struktur Organisasi Kementerian Pendidikan
Pemerintah Indonesia telah berulang kali melakukan perubahan struktur dan nomenklatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Awalnya, Kemendikbud menyatukan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Kemudian, pendidikan tinggi dipisah dan digabungkan dengan riset dan teknologi dalam Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), sementara Kemendikbud fokus pada pendidikan dasar, menengah, dan kebudayaan.
Saat ini, struktur tersebut kembali berubah menjadi tiga entitas terpisah: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek), dan Kementerian Kebudayaan. Perubahan-perubahan ini menunjukkan upaya pemerintah untuk melakukan penyesuaian. Namun, efektivitasnya dalam meningkatkan fokus dan kinerja kementerian secara konkret perlu dikaji lebih dalam.
Kesimpulan
Untuk mengatasi ketertinggalan ini, sistem pendidikan di Indonesia memerlukan transformasi menyeluruh. Ini meliputi pengembangan kurikulum yang adaptif namun stabil, peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru melalui pelatihan dan dukungan, pemerataan akses teknologi, pergeseran paradigma dari hafalan ke pemahaman dan penalaran, serta penataan ulang tata kelasa pendidikan yang lebih egaliter. Dengan upaya kolektif, diharapkan siswa Indonesia dapat siap menghadapi tantangan global dan mencapai potensi maksimal mereka.
Author: Latif Sonya Makbila
0 Comments